Yogyakarta, Gatra.com – Kantor perwakilan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Daerah Istimewa Yogyakarta mengatakan banyak sekolah negeri yang dilaporkan terkait pungutan ilegal. Kondisi ini muncul karena pengelola sekolah menerapkan perencanaan program sepotong-sepotong.
Pada Jumat (23/9), Kepala ORI DIY Budhi Masdhuki merilis jumlah laporan soal pungli di sekolah tahun ini mencapai 52 laporan. Jumlah ini meningkat dibanding tahun sebelumnya yakni 33 laporan.
“Laporan yang masuk secara keseluruhan didominasi mengenai adanya pungutan atau sumbangan wajib yang dibebankan ke wali murid. Hingga September ini jumlahnya mencapai 18 laporan,” kata Budhi di kantornya.
Selain itu, ada tujuh laporan menyangkut hak anak didik yang tidak berikan oleh sekolah karena belum melunasi biaya pendidikan. Enam laporan mengenai penyimpangan dalam proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Tiga laporan lagi mengenai penahanan ijazah dan satu laporan tentang pemaksaan atribut agama.
Budhi mengatakan, dalam kasus pungutan tidak sah, kebanyakan pengelola sekolah menjadi aktor utama dengan merencanakan program kerja yang tidak bisa dicakup oleh Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
“Ini direspons oleh komite sekolah dengan menjadikannya sebagai kebijakan penggalangan dana dan didukung kalangan wali murid yang memiliki ekspektasi dan menginginkan fasilitas pelayanan sekolah lebih untuk anak-anaknya,” jelasnya.
Padahal penggunaan sumbangan dari orang tua menurut Budhi rawan penyimpangan. Sebab selama ini hampir tidak pernah ada audit laporan penggunaan dan tidak ada laporan kepada orang tua. Kasus terbaru yang dilaporkan ke ORI DIY terjadi di SMKN 2 Sleman. Total pungutan ke orang tua murid di sekolah itu mencapai Rp5,3 miliar.
Pimpinan Ombudsman RI yang membidangi pendidikan, Indraza Marzuki Rais, menyebut laporan soal pungutan tidak sah oleh sekolah banyak berasal dari daerah. “Kalau masalah meminta partisipasi masyarakat, membantu, ya silakan namanya juga buat anak-anak. Tapi itu partisipasi, bukan kewajiban. Tidak boleh memberatkan,” katanya.
Kondisi ini menurut Indra terjadi karena dalam perencanaan program di tahun sebelumnya berlangsung sepotong-potong. Dengan anggaran pendidikan yang besar dari APBN, pihak sekolah dinilai memprioritaskan program yang tidak urgen untuk kemajuan pendidikan siswa.
“Terkesan mengarang-ngarang. Seperti pembangunan kantin, apakah tidak ada kantin atau tempat parkir sekolahnya enggak jalan? Pihak sekolah sekarang dituntut kreatif dan jangan lagi tergantung pada nilai uang,” jelasnya.
Baginya, partisipasi dalam bentuk sumbangan ke sekolah boleh-boleh saja. Asalkan, kata Indraza, tidak memaksa dan pengelolaannya harus transparan serta akuntabel. “Yang terpenting lagi, jangan sampai ketika orang tuanya tidak memberi sumbangan, terjadi perundungan oleh pihak sekolah. Ini dosa besar,” tegasnya.
Sekretaris Daerah (Sekda) DIY Kadarmanta Baskara Aji menyebut, pihak sekolah melakukan kesalahan jika melakukan pungutan dengan besaran yang tidak terjangkau oleh peserta didik.
“Tapi kalau dia hanya menutup terhadap RAPBS (Rencana Anggaran Pendapatan Belanja Sekolah) dan disusun bersama komite, lalu disahkan dinas, tentu itu menjadi ada kata-kata kekurangan dibebankan masyarakat,” katanya.
Yang penting, kata Aji, prinsip transparansi harus diwujudkan oleh pengelola dan komite sekolah. Jika ada sekolah yang melanggar, Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) akan bertindak.