Home Nasional Tata Kelola BBM Buruk, Peneliti UGM: Kuota Pertalite Tahun Ini Habis Bulan Depan

Tata Kelola BBM Buruk, Peneliti UGM: Kuota Pertalite Tahun Ini Habis Bulan Depan

Yogyakarta, Gatra.com – Tingginya permintaan BBM bersubsidi jenis Pertalite mempercepat habisnya besaran kuota yang ditetapkan pemerintah tahun ini. Dari total kuota BBM bersubsidi yang dijatah sampai akhir tahun sebanyak 23 juta kiloliter (KL), diprediksi meningkat 29 juta KL.

Kondisi ini dipaparkan peneliti Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Yudistira Hendra Permana, dalam diskusi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM bertajuk ‘BBM dan Kenaikan harga BBM Bersubsidi: Antara Beban APBN, Ketersediaan, dan Keberlanjutan’, Kamis (22/9).

“Kenaikan harga Pertalite dan Pertamax dengan disparitas harga yang cukup jauh menjadikan pembeli kembali ke Pertalite. Sehingga beban subsidi dan kompensasi jebol karena semua memilih Pertalite,” kata Yudistira.

Tingginya permintaan pada Pertalite ini mengakibatkan kuota tahunan yang sudah dijatah pemerintah cepat habis. Tahun ini pemerintah menetapkan kuota Pertalite sebanyak 23 juta KL yang memang dikhususkan pada kelompok masyarakat miskin.

Namun kondisi terbaru, kuota itu per Agustus kemarin tersisa sekitar 3 juta KL. Dengan kebutuhan per bulan mencapai 2,5 juta KL, Yudistira menyebut kuota BBM bersubsidi Pertalite akan habis pada Oktober nanti.

“Bahkan di Daerah Istimewa Yogyakarta, kuota Pertalite sebenarnya sudah habis sejak Senin (19/9) pekan lalu. Namun Pertamina mengambil kebijakan dengan melakukan subsidi silang dengan mengalihkan kuota dari Jawa Tengah dan lainnya,” lanjutnya.

Jika melihat tingginya permintaan BBM bersubsidi Pertalite setiap bulannya, kajian Pusat Studi Energi UGM memperkirakan jika kondisi ini dipertahankan maka pemerintah wajib memberikan tambahan kuota hingga akhir tahun menjadi 29 juta KL.

Sebagai antisipasi pada tingginya permintaan BBM bersubsidi yang turut meningkatkan besar subsidi yang diperkirakan sampai menembus Rp600 triliun pada akhir tahun nanti, Yudistira menyarankan pemerintah untuk mengambil tiga kebijakan.

“Pertama adalah menaikkan harga BBM bersubsidi yang disesuaikan dengan harga minyak dunia. Kedua memberlakukan pembatasan pembelian dan ketiga melakukan kombinasi keduanya, kenaikan dan pembatasan,” tegasnya.

Peneliti lain dari PSE UGM, Agung Satrio Nugroho, mempertanyakan ke mana larinya subsidi yang diberikan pemerintah melalui pemberlakuan harga BBM bersubsidi Pertalite yang lebih murah dibanding harga minyak dunia.

“Pasalnya dari penelitian kami pada 2020, dari 7.230 kecamatan, sejak zaman kemerdekaan sampai sekarang baru ada 42 persen yang sudah dilayani oleh SPBU. Sisanya sebanyak 58 persen belum terlayani sama sekali,” katanya.

Baginya kebijakan satu harga BBM yang sempat dicetuskan di awal pemerintah Presiden Joko Widodo akan sulit terwujud karena skema penyalurannya tidak merata. Sehingga tidak memungkiri harga BBM bersubsidi di kawasan terpencil lebih mahal dibandingkan kawasan perkotaan.

Idealnya, agar terjadi pemerataan aksesibilitas masyarakat pada BBM, Agung mengatakan Pertamina seharusnya menghadirkan satu SPBU di satu kecamatan.

Dekan Fisipol UGM Wawan Mas’udi melihat tingginya ketergantungan masyarakat Indonesia pada energi fosil yang membuat pemerintah terus-menerus mengeluarkan subsidi besar karena kesalahan tata kelola.

“Jika tata kelola, terutama pada aksesibilitasnya, yang lebih mudah, masyarakat sebenarnya tidak lagi peduli pada harga. Berapapun harganya tetap akan dibeli selama masyarakat bisa mengakses,” katanya.

Masalah inilah yang sebenarnya tidak pernah diperhatikan pemerintah. Sehingga ketika terjadi kenaikan harga BBM, kebijakan pemerintah selalu berorientasi pada logika keuangan atau fiskal dengan pemberian subsidi kepada masyarakat.

Wawan juga menyarankan pemerintah untuk mempercepat penerapan energi terbarukan demi mengurangi ketergantungan pada energi fosil. Soal energi terbarukan, Indonesia adalah negara yang kaya sumber-sumber energi terbarukan.

148