Jakarta, Gatra.com– Permintaan energi primer global akan terus tumbuh seiring meningkatnya kebutuhan energi karena jumlah penduduk yang terus bertambah dan adanya pertumbuhan ekonomi. Namun di sisi lain, anggota G20 dan negara-negara di dunia telah menetapkan target pencapaian net zero emission (NZE) sejalan dengan adanya Perjanjian Paris.
Komitmen Indonesia untuk mencapai target NZE terus digaungkan, salah satunya melalui transisi energi. Bahkan transisi energi menjadi salah satu topik utama yang akan dibahas dalam KTT G 20 November mendatang di Bali.
Dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC), Indonesia menargetkan penurunan emisi hingga 29% dengan upaya sendiri atau hingga 41% dengan bantuan Internasional.
Namun demikian, berdasarkan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), konsumsi minyak Indonesia akan meningkat sebesar 139 persen, dan konsumsi gas akan meningkat hampir 300 persen. Selain itu, diproyeksikan juga bahwa penduduk Indonesia akan meningkat lebih dari 23 persen menjadi hampir 350 juta dalam 30 tahun mendatang.
Dengan kondisi demikian, industri migas Indonesia saat ini tengah menghadapi dua tantangan, yaitu memenuhi kebutuhan energi Indonesia dan mengurangi dampak emisi karbon. Menghadapi dua tantangan energi tersebut, dibutuhkan solusi multi dimensi.
“Melihat situasi ini, tantangan energi Indonesia membutuhkan solusi multi-dimensi. Percepatan transisi energi Indonesia membutuhkan upaya bersama,” ujar Presiden Indonesian Petroleum Association (IPA), Irtiza H. Sayyed pada Upacara Pembukaan Pameran dan Konvensi IPA ke-46 dengan tema “Addressing the Dual Challenge: Meeting Indonesia’s Energy Needs While Mitigating Risks of Climate Change” di Jakarta Convention Center (JCC), Rabu (21/9).
Menurut Irtiza, dalam 10-20 tahun ke depan, industri hulu migas perlu mengembangkan dan menggali potensi migas Indonesia mengingat tingginya kebutuhan energi yang ada. “Upaya ini akan memenuhi dua kebutuhan sekaligus, yaitu: meningkatkan penerimaan negara dan memenuhi kebutuhan energi untuk pertumbuhan Indonesia,” ujarnya.
Selain mendorong peningkatan produksi migas, lanjut dia, industri migas saat ini juga tengah fokus untuk menurunkan emisi karbon. Dalam kegiatan operasional dan produksinya, perusahaan migas terus mengembangkan berbagai teknologi yang dapat mengurangi emisi karbon dan menghasilkan energi yang lebih bersih.
Salah satu teknologi yang paling menjanjikan untuk mencapai emisi yang lebih rendah adalah Carbon Capture and Storage (CCS). Penerapan teknologi rendah karbon ini bertujuan untuk mengurangi emisi guna mencapai emisi nol netto pada 2050 atau lebih cepat. Namun, dukungan kebijakan diperlukan untuk mendorong investasi.
“Dalam kasus teknologi seperti CCS, investasi yang dibutuhkan sangat besar, dan penerapan pada skala industri merupakan komitmen jangka panjang. Untuk meyakinkan bisnis jangka panjang terhadap investasi semacam itu, para pemangku kepentingan berharap bahwa kebijakan pemerintah akan mendukung teknologi yang mereka bantu besarkan,” katanya.
Irtiza menambahkan, transisi ke energi berkelanjutan memerlukan kerjasama yang erat antar pemangku kepentingan, baik dari pelaku industri dan juga pemerintah.
“Kita memainkan peran yang menentukan dalam mendukung transisi energi sambil memenuhi permintaan energi yang tengah melonjak, Selain itu, dibutuhkan upaya yang luar biasa dan kolektif untuk mencapai energi yang berkelanjutan dan andal. Jadi, mari bersama-sama menyusun skenario untuk masa depan yang lebih rendah karbon,” ujar dia.