Jakarta, Gatra.com - Kasus pedagangan orang marak terjadi dan saat ini berada dalam situasi darurat. National Program Officer International Organisation for Migration (IOM), Rizki Inderawansyah, menjelaskan bahwa perdagangan orang erat berkaitan dengan proses migrasi yang dilakukan. Risiko dari migrasi sendiri beragam, namun yang difokuskan saat ini adalah adanya risiko menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
"Migran adalah seseorang yang berpindah. Banyak pekerja kita mencari pekerjaan di luar negeri, namun, banyak yang secara tidak sukarela berpindah," ujarnya dalam diskusi yang digelar Kedutaan Besar Amerika Serikat, Rabu (21/9).
Baca Juga: Ribuan PMI Prosedural asal NTB Siap Diberangkatkan, Wagub: 'Berangkat Migran, Pulang Juragan'
Sejauh ini, modus-modus yang digunakan untuk menggaet korban dilakukan melalui penipuan, penculikan, sistem utang, yang akhirnya membuat korban dipekerjakan secara paksa di pabrik, hingga menjadi korban kekerasan seksual.
"Pada kasus khusus, modusnya adopsi anak. Yang klasik adalah bujuk rayu untuk menjadi pembantu rumah tangga. Modus terbaru, korban diangkat menjadi duta, serta beasiswa palsu," jelasnya.
Lebih lanjut, Rizki menerangkan bahwa pada masa kini, terdapat modus yang melibatkan korban untuk mencari korban lainnya. Orang yang tadinya korban, pada akhirnya menjadi pelaku. Kasus ini banyak terjadi melalui perekrutan secara online.
Baca Juga: Australia Naikkan Target Migrasi di Tengah Tekanan Tenaga Kerja
Rizki juga menegaskan bahwa terdapat perbedaan mendasar antara trafficking (perdagangan) dan smuggling (penyelundupan), utamanya pada pengetahuan korban. Pada kasus penyelundupan, korban tidak dipaksa jasa dan fisiknya untuk melakukan sesuatu, serta ia mengetahui perpindahan dan tujuan perpindahan. Sementara, menurut Rizki, korban perdagangan tidak tahu-menahu tentang apa yang terjadi kepadanya sehingga rentan dieksploitasi. Selain itu, pada kasus penyelundupan seringkali hubungan antara penyelundup dan yang diselundupkan selesai saat perpindahan terjadi.
Data dari IOM mencatat bahwa sejak 2005-2021, terdapat 9.438 korban yang ditangani, dengan presentase korban dewasa sejumlah 87% serta usia anak-anak sejumlah 13%. Menurut Rizki, jumlah ini masih terlalu banyak.
"13% terlalu banyak, harusnya 0 karena ini anak-anak. Korban laki-laki pun ada yang menjadi korban eksploitasi seksual dan kebanyakan anak-anak," ujarnya.
Rizki menekankan bahwa upaya perlindungan korban TPPO harus dilakukan. Sebagai lembaga yang berada di bawah Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), IOM tidak memiliki banyak wewenang melainkan mengikuti dan bekerjasama dengan pihak dan aturan yang dimiliki pemerintah. Rizki juga mengatakan bahwa kasus TPPO terjadi lintas batas, sehingga penting untuk menjaga korban agar tidak terjadi reviktimisasi korban.