Jakarta, Gatra.com - Ketua Bidang Advokasi dan Pendidikan Konsumen Pakta Konsumen, Ary Fatanen mengatakan bahwa 69,1 juta konsumen rokok belum mendapat hak partisipatif dan advokasi.
"Perokok dan konsumen produk tembakau selama ini hanya dijadikan objek dalam implementasi regulasi pertembakauan," katanya dalam diskusi di Jakarta, Rabu (21/9).
Hal ini juga terjadi dalam penentuan kebijakan cukai hasil tembakau (CHT). Padahal perokok dan konsumen produk tembakau berkontribusi terhadap penerimaan negara sebesar Rp191 triliun. Angka ini setara dengan 10% dari APBN.
Baca juga: Dukung Industri Hasil Tembakau di Jatim, Ini Langkah Bea Cukai
Menurutnya, cukai rokok akan kembali dijadikan kantong utama penerimaan negara pada tahun 2023 mendatang. Diproyeksikan, cukai rokok dapat menyumbang Rp245,45 triliun atau naik 9,5% dari tahun sebelumnya.
"Konsumen adalah wajib pajak yang punya hak partisipatif dan advokasi konsumen yang berkontribusi terhadap cukai rokok, tapi tidak diakomodir," ucapnya.
Ia menambahkan, seharusnya pemerintah bisa memaksimalkan peran litigasi dan non litigasi konsumen rokok. Peran ini sangat penting untuk melindungi dan mengakomodir hak-hak konsumen produk tembakau.
Baca juga: Kemenperin Nilai PP 109/2012 Masih Relevan dengan Industri Hasil Tembakau
"Perokok dan konsumen produk tembakau belum dipandang sebagai warga negara seutuhnya oleh pemerintah. Sering distigma sebagai beban negara atau warga negara kelas dua," ujar Ary.
Staf Bidang Advokasi Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN RI), Lily menyebut bahwa negara berkewajiban mengakomodir hak konsumen termasuk hak untuk didengar pendapatnya. Hak ini termaktub dalam amanat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
"Pemerintah harus bijak dan berimbang dalam mendengarkan aspirasi konsumen karena akan berdampak pada banyak sektor," ucapnya.