Jakarta, Gatra.com – Tahun ini, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) mengajukan Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisidiknas) yang bertujuan untuk menyatukan aturan sistem secara menyeluruh. Ini menimbulkan tanggapan pro-kontra dari berbagai pihak, termasuk dari kelompok profesi guru. Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Unifah Rosyidi, menekankan bahwa keberadaan RUU Sisdiknas harus membawa manfaat untuk pendidikan.
“Kalau kita berbicara tentang RUU Sisdiknas, bagi kami adalah berbicara tentang sesuatu yang paling mendasar dalam kehidupan kita. Pandangan berbagai pihak tentang RUU Sisdiknas itu dilihat sebagai bagian dari tanggung jawab kita semua untuk masa depan kita. Karena pendidikan bagi kami, adalah hak asasi,” tuturnya dalam diskusi bertajuk “Menakar Keandalan Filosofis, Pedagogis, dan Strategis RUU Sisdiknas dalam Mengangkat Marwah Pendidikan”, Jumat (16/9).
Pendidikan di Indonesia sebelumnya telah memiliki dasar hukum berupa Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003. Selain itu, undang-undang (UU) pendukung lainnya meliputi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pendidikan Tinggi, serta aturan pemerintah daerah terakait pelaksanaan pendidikan.
Baca juga: Perumusan RUU Sisdiknas, Pengamat: Pemerintah Lepas Tanggung Jawab
Namun, pada RUU Sisdiknas, poin mengenai profesi guru dihapuskan. Jika dibandingkan dengan keberadaan UU Guru dan Dosen, ini menjadi kemunduran karena pengakuan atas profesi guru tidak lagi dilakukan.
“Tiba-tiba, RUU Sisdiknas terasa betul harus dipaksakan. Karena saya guru, perspektifnya profesinya guru. Hal-hal baik yang ada dalam Undang-Undang Guru dan Dosen masih ada di sana (saat draft April). Ini tidak terlihat di RUU Sisdiknas (draft Agustus). Siapa yang melindungi profesi guru dan dosen?” katanya.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran bagi Unifah, karena bagaimana negara ingin menempatakan profesi guru yang layak erat berkaitan dengan masa depan. Ketika profesi guru dilindungi, maka anak-anak muda akan tertarik untuk belajar dan menjadi calon guru. Dengan potensi yang dimilikinya, maka itu bisa dilatih dan menjadi harapan yang baik untuk masa depan. Selain itu, penghapusan poin tunjangan profesi guru juga menjadi sorotan.
Baca juga: Soroti Ketentuan Tunjangan Guru di RUU Sisdiknas, PGRI: Tak Eksplisit, Komitmen Sebatas Lisan
“Setelah kami pelajari, sebenarnya keinginan untuk menghapus tunjangan profesi guru ini, keinginan yang sudah sangat lama. Ada pernyataan, ada policy paper, ada juga guru yang zaman dulu korban kebijakan, yaitu guru Satuan Pendidikan Kerja Sama (SPK). Melihat ini, ada pertanyaan penting dari kami. Jujurlah, ada apa, sih? Ada rencana apa? Kenapa tunjangan profesi guru harus dihapuskan?” ujarnya.
Unifah juga menyatakan bahwa ia kerap berdiskusi dengan ahli hukum mengenai status aturan dan dasar hukum yang selama ini sudah ada. Kesimpulannya, profesi guru merupakan profesi yang setara seperti profesi lain yang diakui undang-undang. Ini menunjukkan bahwa tidak ada masalah dalam substansi, namun justru substansi baik itu dihilangkan dengan adanya RUU Sisdiknas.
Status guru swasta juga menjadi poin yang disoroti oleh Unifah. Meskipun dalam pernyataan Kemendikbud Ristek menyatakan bahwa guru swasta akan dianggap setara, Unifah melihat bahwa dalam praktiknya, masih terjadi perbedaan perlakuan.
Proses pelibatan pihak di luar Kemendikbud Ristek dalam menyusun RUU Sisdiknas juga tidak dilakukan secara optimal. Unifah mengaku bahwa pihaknya hanya diajak berbicara selama 5 menit, serta aspirasinya tidak benar-benar dipertimbangkan.
Baca juga: Kemendikbudristek Tepis Isu Sengaja Kebut Pengesahan RUU SIsdiknas
“Kalau sampai tunjangan profesi dihapuskan, bukan hanya dunia guru yang suram tapi masa depan pendidikan Indonesia. Anak-anak terbaik di sini tidak akan mau jadi guru. Di RUU Sisdiknas, tidak ada sama sekali pasal terkait tunjangan profesi guru. Pasal ini jadi persoalan utama bagi kami,” katanya.
Penghapusan Undang-Undang Guru dan Dosen dan dimasukkan dalam RUU Sisdiknas menjadi sesuatu yang memprihatinkan. Unifah menyebutkan bahwa ini membuat ketiadaan penghargaan terhadap guru, di saat profesi lain tetap diakui profesinya sesuai dengan undang-undang.
“Kenapa hanya Undang-Undang Guru dan Dosen yang dihapuskan? Adakah para pejabat, kepala daerah, pemimpin, yang berani membayar tunjangan guru dan dosen jika tidak ada landasan hukumnya?” ucapnya.
Unifah menegaskan akan terus mendorong perbaikan dalam RUU Sisdiknas. Menurutnya, tunjangan profesi guru merupakan harga mati. Niat baik tanpa landasan hukum menurutnya tidak cukup, melainkan memerlukan kekuatan yang mengikat untuk mewujudkan kesejahteraan guru.