Yogyakarta, Gatra.com– Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk (P3AP2) DIY merilis data bahwa tiga tahun terakhir angka pernikahan dini meningkat. Pada 2020 – 2021, angka pernikahan dini mencapai 1.705 kejadian, sedangkan pada 2019 tercatat 394 kejadian. Total dalam tiga tahun terjadi 2.099 pernikahan dini.
Hal ini tertuang dalam laporan akhir kajian studi pernikahan usia anak oleh Dinas P3AP2 DIY yang diketuai Warih Andan Puspitosari dan dipublikasikan pada Jumat (15/9).
“Alasan utama survei yang melibatkan 400 responden se-DIY di rentang usia 15-49 tahun ini sebagai upaya kami menganalisis serta menyusun rumusan kebijakan, strategi, dan program untuk mengatasi pernikahan usia anak di bawah usia 19 tahun,” kata Warih.
Ia menyebut, meski secara nasional kasus pernikahan dini turun dari 11,21 persen pada 2018 menjadi 10,35 persen pada 2020, kasus di sembilan provinsi, termasuk DIY, justru naik.
Di DIY pada 2019 terdapat 394 pernikahan anak. Angka tersebut naik 200 persen pada 2020 dengan angka 948, sedangkan perkawinan anak terjadi sebanyak 757 kali di tahun 2021.
“Dari daerah, data pada 2021 menunjukkan Gunungkidul 153 kasus, Sleman 147 kasus, Bantul 94 kasus, Kota Yogyakarta 50 kasus, dan Kulonprogo 47 kasus. Empat kecamatan tergolong merah karena mengeluarkan dispensasi pernikahan dini di atas 20 kasus yaitu Ngemplak dan Depok di Sleman, kemudian Semanu dan Ponjong di Gunungkidul,” jelasnya.
Warih menyebut faktor utama tingginya angka pernikahan dini adalah kurangnya edukasi soal pendidikan seks di tingkat formal atau sekolah.
Meski tidak merinci apakah pandemi Covid-19 selama dua tahun berpengaruh dalam penelitian, Warih menyebut bila dielaborasi hal itu sangat terkait. Sebab dalam dua tahun ini para siswa memiliki kesempatan berinteraksi di luar sekolah lebih luas.
Warih juga memaparkan kendala dalam mencegah tingginya angka pernikahan dini adalah faktor kurangnya pemahaman masyarakat, tingginya kesenjangan ekonomi, dan kurangnya sinergi lembaga pemerintah.
Melihat peningkatan angka pernikahan dini pada dua tahun terakhir, peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada (UGM) Umi Listyaningsih menyatakan Covid-19 menjadi penyebabnya.
“Dari data jelas terlihat Covid berperan. Peningkatan luar biasa sampai 500 orang. Terlebih saat itu anak-anak dalam pembelajaran online. Peran orang tua digantikan sepenuhnya oleh handphone. Jadi apapun bisa mereka dapatkan dari internet tanpa pengawasan,” jelasnya.
Namun secara khusus Umi memberi perhatian munculnya alasan dispensasi pernikahan dini yakni khawatir berbuat dosa. Dua alasan lain yaitu kehamilan yang tidak diinginkan dan kelahiran anak.
Baginya, alasan karena khawatir berbuat dosa tak lepas dari peran orang tua yang cenderung memaksakan anaknya menikah dini. Padahal jika orang tua memberikan penjelasan mengenai dampak pernikahan dini, anak akan menjauhi zina yang dinilai perbuatan dosa dan sekaligus juga menghindarkan dari pernikahan dini.
“Tapi memang, faktor kemiskinan dalam kasus ini juga memegang peran. Bisa jadi dengan menikahkan dini anaknya beban ekonomi akan berkurang. Padahal sebaliknya, beban itu akan bertambah ketika mereka mengalami masalah,” katanya.