Jakarta, Gatra.com – Usulan Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) menuai pro-kontra berbagai kalangan. Pengamat pendidikan sekaligus Direktur Pendidikan Vox Populi Institute Indonesia, Indra Charismiadji, menyebutkan bahwa perumusan UU harus sesuai dengan konstitusi, yaitu Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
“Apapun yang kita lakukan untuk menyusun UU Sisdiknas, tidak boleh lari dari konstitusi. Jadi di konstitusi itu jelas, kalau urusan pendidikan, atau bahanya adalah urusan mencerdaskan kehidupan bangsa, itu harus menjadi tugas pemerintah," katanya pada diskusi yang digelar Badan Riset dan Inovasi Nasional, Jumat (16/9).
Indra menyampaikan, urusan pendidikan sudah sangat terang, yakni merupakan tanggung jawab pemerintah, bukan warga Negara atau penduduk Indonesia, maupun juga swasta, dan organisasi keagamaan. "Clear adalah tugas pemerintah,” ujarnya.
Baca Juga: PGRI Sebut, RUU Sisdiknas Bikin Kesejahteraan Guru Makin Minim
Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dalam Pasal 1 Ayat 18 tertulis wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Sedangkan dalam draft RUU Sisdiknas versi AGustus 2022, kata Indra, isinya berubah, yakni pada Pasal 1 Ayat 13 berbunyi wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga Negara Indonesia.
Kemudian, pada Pasal 1 Ayat 10, disebutkan pula bahwa peran menteri sebagai penanggung jawab pendidikan nasional. Namun, penghapusan tanggung jawab kembal dilakukan melalui Pasal 1 Ayat 19 RUU Sisdiknas yang menjelaskan bahwa menteri adalah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan. Menurutnya, ini bertentangan dengan konstitusi.
“Jadi sepertinya arahnya ini [RUU Sisdiknas] warga Negara disuruh bertanggung jawab untuk urusan wajib belajar. Menurut saya, ini bertentangan dengan amanat konstitusi," ucapnya.
Ia pun mempertanyakan dasar pengubahan tersebut karena dalam RUU Sisdiknas sama sekali tidak menjelaskan, baik pada naskah akademik maupun di penjelasannya.
"Kalau Undang-Undang ini disahkan, pertanyaannya adalah, siapa yang bertanggung jawab di bidang pendidikan? Pemerintah sudah lepas tanggung jawabnya, menteri pun ikut lepas tanggung jawabnya,” ucap Indra.
Peran masyarakat sebagai pengawas dan mitra juga dihapuskan dalam draft terbaru RUU Sisdiknas. Di UU Nomor 20 Tahun 2003, ada lembaga mandiri seperti Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), Dewan Pendidikan, serta Komite Sekolah. Menurut Indra, ini menjadi tanda bahaya karena setelah ketiadaan penanggung jawab, peran masyarakat sebagai pengawas dan mitra pendidikan juga dihapuskan tanpa penjelasan.
Poin lain yang disorot oleh Indra adalah mengenai standar beragam yang akan ditetapkan melalui RUU Sisdiknas. Dalam pandangan Indra, standar haruslah sama dan tidak dibedakan.
Baca Juga: Kemendikbudristek Tepis Isu Sengaja Kebut Pengesahan RUU Sisdiknas
“Ini aneh cara berpikirnya. Kalau standar dibuat beragam, maka namanya bukan standar. Standar itu ya harus sama, bukan menjadi target tertinggi, melainkan dari yang paling lemah. Tapi kalau sekarang standarnya dibuat berbeda-beda, alasannya kita itu berbeda-beda, namanya bukan standar nasional lagi,” katanya.
Dalam RUU Sisdiknas juga tidak terlihat kejelasan mengenai mau dibawa ke mana arah pendidikan Indonesia. Ini memerlukan cetak biru (blue print) yang komprehensif dengan melibatkan seluruh pihak.
Indra menegaskan bahwa pembuatan blue print sebagai peta harus dilakukan agar produk hukum yang lahir tidak hilang arah atau melenceng dari tujuan pendidikan.