Pati, Gatra.com – Ayahnya dibunuh, ibu, kakek, dan seluruh sanak famili dipenjara tanpa sidang, dituduh sebagai simpatisan atau anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), atau dikait-kaitkan partai terlarang.
Handoyo Triatmojo sudah berdiri menunggu kedatangan kami di depan rumahnya di Desa Jetak, Kecamatan Wedarijaksa, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Selasa (13/9). Malam sebelumnya, Gatra.com memang sudah menghubunginya untuk meminta waktu tandang.
Mantan Kepala Desa Jetak itu, kemudian mempersilakan kami untuk masuk kedalam ruang tamu. Suguhan demi suguhan berdatangan untuk menjamu kehadiran kami di rumah sederhana itu.
Pria yang karib disapa Handoyo itu bercerita, ia dilahirkan dari rahim wanita yang menjadi tahanan politik (Tapol) saat menjalani masa tahanan di Kabupaten Pati.
“Saya dilahirkan di dalam tahanan [yang sekarang menjadi sejumlah instansi di Pati]. Ayah ditembak, kakek, dan saudara semuanya ditahan. Saat saya bayi, hanya mendapatkan jatah air untuk mandi satu botol kecap,” ujarnya.
Pria kelahiran tanggal 14 April 1965 itu, tak pernah tahu secara pasti kesalahan yang diperbuat oleh kedua orangtua, kakek, dan sanak saudara sehingga dijebloskan ke dalam penjara.
Baca Juga: Ungkap Tragedi 65, Komnas HAM Gelar Simposium
Yang ia tahu, ayahnya adalah seorang guru sekolah rakyat (SR) setingkat SD saat ini, ibunya bekerja sebagai bendahara desa (perangkat). Sementara kakeknya adalah kepala desa dan seorang pejuang kemerdekaan saat agresi militer Belanda I dan II.
“Saya tidak pernah melihat wajah ayah saya, saya dirawat oleh ibu dan tahanan lain di dalam tahanan kala itu,” tuturnya.
Ia menuturkan, hidup di dalam tahanan adalah hal yang tak mudah. Meski begitu, lumrahnya kanak-kanak, ia belum mengerti kenapa ada di dalam sel. Ketika tahanan lain diminta untuk bekerja kasar, Handoyo kecil juga melakoni.
“Kadang diminta untuk menumbuk bata merah untuk dijadikan bahan bangunan. Dipekerjakan di tambang, hingga memproduksi dan mengangkut garam di area pertambakan. Macem-macem,” ungkapnya.
Handoyo mengaku paling senang ketika bekerja di pertambakan di daerah Kecamatan Batangan. Mengingat banyak warga yang mengenal keluarganya.
“Warga banyak yang kenal sama kakek dan ayah saya. Ayah kan guru. Jadi warga kasihan, kadang dikasih telur saat kami kerja paksa,” sebutnya.
Mantan Ketua Yayasan Peneliti Peristiwa (YPKP) 1965 Pati ini mengaku, menghirup udara bebas saat menginjak usia lima tahun. Stigma demi stigma terus menghantuinya dan kelurga besar. Bahkan hingga saat ini.
“Kami sebenarnya tidak menuntut apa-apa dari pemerintah. Kami meminta agar stigma di masyarakat terhadap kami itu hilang. Dan itu yang terus kami perjuangkan,” sebut Handoyo.
Pernah sekali waktu ia mencari jejak keberadaan ayahnya. Selepas penantian panjang, ia akhirnya menemui titik terang. Terakhir berada di wilayah Solo dan menjadi tahanan politik di sana. Hingga akhirnya dieksekusi di Jembatan Bengawan Solo Cepu.
“Saya dapat informasi dari Jakarta. Ayah saya dieksekusi di Bengawan Cepu di jembatan bersama tahanan lain. Yang tidak dapat saya terima nalar, penembak ayah adalah temannya sendiri. Saya pernah ketemu algojonya, dan ia meminta maaf kepada saya. Jadi ayah saya tidak dikubur, tetapi jasadnya dibiarkan mengambang di sungai,” bebernya.
Di Kabupaten Pati sendiri, terang Handoyo, kurang lebih 500 orang menjadi tahanan dituduh sebagai simpatisan atau anggota PKI, atau dikait-kaitkan partai terlarang tersebut. Mirisnya, 324 orang di antaranya tewas oleh moncong senjata.
Baca Juga: Siswa SMK di Banjarnegara Filmkan Kisah eks-Tapol Penghuni Pulau Buru
“Saat aktif di YPKP 65 Pati, saya pernah mengadakan penelusuran dan penelitian. Sebanyak 324 tahanan dinyatakan hilang, mereka ditembak dan dikuburkan secara massal di sejumlah daerah, termasuk di wilayah Kabupaten Pati,” ungkapnya.
Mayat para tapol itu sebagian dikuburkan secara massal di sejumlah titik. Di antaranya di hutan Jeglong, Desa Ronggo, Kecamatan Jaken; hutan Desa Brati, Kecamatan Kayen; di Kalitelo Grogolan, Kecamatan Dukuhseti; dan hutan di Desa Regaloh, Kecamatan Tlogowungu; selanjutnya di hutan perbatasan Pati dengan Grobogan.
“Di Jeglong ada 10 lubang. Sebanyak tiga lubang ada isinya yang tujuh tidak ada isinya. Jadi 15 orang, lima orang, lima orang, total ada 25 orang yang ada di sana," katanya.
Ia mengungkapkan, yang terdata rapi itu ada di 11 titik. "Jadi Brati Kayen ada dua lubang, terus Jeglong Ronggo, Kecamatan Jaken, ada lubang 10 yang terisi tiga lubang, terus kali Telo Dukuhseti ada tiga, terus di Puncel ada dua lubang. Alas Lamin, Kecamatan Tlogowungu, ada dua lubang. Di Kalitelo Grogolan Dukuhseti paling banyak, ada 42-48 korban. Mereka yang menjadi korban bukan warga situ, tetapi warga daerah lain,” sebutnya.
Handoyo berharap pemerintah menjadikan lubang-lubang genosida itu menjadi area pekuburan. Terlepas dari tuduhan atau predikat yang dilabelkan pemerintah kepada para korban tragedi tahun 1965/1966.
“Karena itu manusia bukan binatang, harusnya negara peduli untuk membuat pusaranya. Bukannya malah menghilangkannya, rata-rata lubang-lubang itu dibiarkan dan seolah dihilangkan,” ucapnya.