Jakarta, Gatra.com– Indonesia merupakan salah satu negara dengan populasi penganut agama Islam terbanyak dunia. Meskipun begitu, Indonesia tidak menganut hukum agama atau hukum syariah melainkan menerapkan civil law. Ini menjadi tanda bahwa kebebasan beragama dijamin oleh pemerintah dalam penerapannya.
Untuk melindungi pemeluk agama dan menegakkan hak kebebasan beragama, supremasi hukum menjadi jalan keluarnya. Hal ini disebutkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Yasonna Laoly.
“Kebebasan beragama dan supremasi hukum harus dapat berjalan bersama,” katanya dalam Konferensi Internasional bertajuk “Kebebasan Beragama dan Supremasi Hukum” yang digelar secara daring, Selasa (13/9) malam.
Yasonna menerangkan bahwa kebebasan beragama merupakan salah satu hak yang tidak dapat dilanggar sebagai hak asasi manusia. Di Indonesia sendiri, hal ini sudah diatur berdasarkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) sebagai elemen pertama dari Peraturan Perundang-Undangan Hak Asasi Manusia (HAM) internasional (International Bill of Rights).
Pasal 18 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama, yang dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dengan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan mentaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri.
Selain itu, Indonesia memiliki aturan melalui Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28E ayat (1), (2), (4), Pasal 28J, serta Pasal 29. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia (HAM) termasuk di dalamnya terdapat poin mengenai kebebasan beragama.
“Indonesia merupakan negara hukum yang dijiwai oleh Panasila dalam menyelenggarakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Indonesia bukan merupakan negara agama atau negara sekuler, apalagi negara atheis, akan tetapi merupakan negara hukum, di mana hubungan erat dan harmonis antara negara dengan agama terus dipelihara,” katanya.
Lebih lanjut, Yasonna menegaskan bahwa hukum bukan hanya melindungi pemeluk agama melainkan melindungi agama itu sendiri. Hal ini diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, serta Undang-Undang PNPS Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan dan Penyalahgunaan atau Penodaan Agama.
Saat ini, tantangan yang terjadi adalah ketika hak kebebasan beragama dijadikan hak eksklusif yang hanya boleh dinikmati oleh sekelompok orang tanpa menghormati orang lain untuk memeluk agama dan kepercayaan yang berbeda. Yasonna melihat bahwa pada kasus seperti ini, hukum atau rule of law menjadi penting peranannya untuk menjaga ketertiban umum dan mengatur kehidupan dan kebebasan beragama di Indonesia.
“Urusan kebebasan beragama tidak sesederhana itu. Implementasinya kompleks serta membutuhkan kejujuran dan kedewasaan dari umat beragama. Masih sering terjadi persoalan dan konflik yang dilatarbelakangi oleh perbedaan agama, dan perbedaan cara penerimaan serta pemahaman terhadap agama,” ucapnya.