Jakarta, Gatra.com- Pemilik dan pendiri salah satu SMA swasta terkenal di Batu (Jawa Timur), Julianto Eka Putra (JE), dinyatakan terbukti melakukan kekerasan seksual dan pencabulan pada peserta didik di sekolah miliknya.
Putusan di Pengadilan Negeri Batu pada Rabu (7/9), Julianto dinyatakan bersalah dan divonis dengan hukuman 12 tahun penjara, denda Rp 300 juta, subsider kurungan tiga bulan dan wajib membayar ganti rugi pada korban sebesar Rp 44.744.623.
Majelis hakim menyatakan bahwa JE terbukti secara sah bersalah dengan sengaja membujuk anak melakukan persetubuhan. “KPAI mengapresiasi majelis hakim atas putusan tersebut, dan mendorong pihak kepolisian selanjutnya memproses laporan dugaan eksploitasi ekonomi terhadap anak dan kekerasan fisik yang dialami sejumlah anak di sekolah yang didirikan JE,” ujar Retno Listyarti, Komisioner KPAI, 11/09.
Apresiasi patut diberikan, karena dalam proses sidang kasus ini (ada 25 kali persidangan), terdakwa sebelumnya tidak pernah ditahan. Julianto baru ditahan jelang akhir-akhir persidangan, itupun terimbas penangkapan “Bechi” putra kyai di Jombang yang juga menjadi tersangka kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur, yang kasusnya sedang berproses di pengadilan.
Kasus kekerasan seksual “Julianto” pemilik Sekolah di Batu dan “Bechi” anak pemilik salah satu ponpes di Jombang memberikan gambaran bahwa sekolah-sekolah berasrama, baik sekolah di bawah kewenangan KemendikbudRistek maupun Kementerian Agama menjadi lokasi yang rentan terjadinya kekerasan seksual terhadap peserta didik yang notabene masih usia anak.
KPAI dan Itjen KemendibudRistek Bertemu Korban
Sebelum melakukan pengawasan ke sekolah milik Julianto di kota Batu, Itjen KemendikbudRistek dan KPAI sempat bertemu dan meminta keterangan para korban dengan difasilitasi oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Keterangan para korban diperlukan untuk mengetahui proses pembelajaran selama mereka menjadi siswa sekolah tersebut.
“Para korban menyatakan bahwa mereka sangat jarang mendapatkan pelajaran di kelas karena waktunya habis untuk bekerja menjalankan bisnis tempat wisata dan hotel milik Julianto, diantaranya adalah Kampung Kids dan Transformer. Mereka bekerja setiap hari termasuk sabtu, minggu dan bahkan hari libur nasional. Hari Raya Idul Fitri atau natal pun harus bekerja bahkan lebih berat karena kunjungan wisatawan sedang tinggi-tingginya”, ujar Retno Listyarti, Komisioner KPAI
Retno menambahkan,”Para peserta didik di sekolah milik JE diduga kuat menjadi korban eksploitasi terhadap anak dengan indikasi bahwa anak-anak tersebut dipekerjakan lebih dari 12 jam sehari, bahkan jika sedang ramai pengunjung mereka bisa bekerja dari pagi sampai malam, menurut pengakuan korban, mereka bisa bekerja mencapai hampir 20 jam sehari. Kondisi ini berlangsung bertahun-tahun.”
Pengawasan Langsung Ke Sekolah JE
Saat Itjen KemendikbudRistek dan KPAI melakukan pengawasan langsung ke sekolah JE di Kota Batu, kami menemukan kelas yang sangat tidak layak untuk belajar, juga ruang-ruang laboratorium yang hanya plang nama tanpa ada isinya, peserta didik disinyalir tidak pernah melakukan praktik Biologi, Kimia dan fisika. Tim juga menemukan adanya dugaan kuat eksploitasi ekonomi terhadap anak di sekolah JE.
“Kami menemukan jadwal piket yang diduga merupakan pembagian tugas para peserta didik dari senin sampai Sabtu yang tidak terkait dengan pembelajaran bidang studi IPA. Misalnya senin-sabtu menguras kolam lele, bersihkan kandang ayam, bebek, kambing, Mentok, Puyuh dan Kelinci. Binatang-binatang tersebut di pelihara karena adanya Kampung Kids sebagai salah satu bisnis tempat wisata edukasi milik JE," ungkap Retno.
Retno menambahkan,”Rincian membersihkan kendang-kandang binatang cukup berat bagi ukuran anak, misalnya peserta didik yang mendapat tugas membersihkan kendang ayam, maka detail tugasnya adalah membersihkan sawang, kotoran ayam, tempat makan ayam, tempat telur ayam, menyikat paving kandang ayam, dan bersihkan tempat makan ayam."
Menurut para korban, mereka tidak hanya membersihkan kandang-kandang binatang, namun ada peserta didik yang tugasnya mencari rumput untuk makanan kambing dan kelinci. Ada kisah yang mengenaskan yang disampaikan kepada KPAI, yaitu kisah seorang peserta didik yang tertidur saat sedang bekerja karena sangat kelelahan, kemudian oleh oknum manajemen sekolah anak yang tertidur tersebut di siram air kotoran (tinja).
“Semua pekerjaan di tempat wisata maupun hotel dilakukan oleh peserta didik dari kelas X sampai kelas XII, mulai dari masak, menyajikan masakan, mencuci peralatan masak dan makan/minum, mengurus jual beli souvenir, membersihkan hotel, melaundry sprei/handuk, dll dilakukan oleh para peserta didik dengan dalih proses atau praktik belajar kewirausahaan. Padahal, mereka siswa SMA bukan SMK (vokasi). Kalau belajar pun seharusnya tidak menyita waktu begitu banyak, mereka semestinya tetap mendapatkan pembelajaran SMA selama 6-8 jam," ungkap Retno.
Saat ditanya apakah para korban menerima upah saat dipekerjakan, mereka menjawab anak kelas X tidak dibayar sepeserpun, anak kelas XI hanya mendapat upah Rp 100 ribu per bulan, dan kelas XII sebesar Rp 150 ribu/bulan. Upah tersebut diterima atas jam kerja panjang yang mereka lakukan. Manajemen sekolah JE diduga menempatkan anak-anak dalam pekerjaan berbahaya karena hingga malam hari, sehingga anak-anak mengalami tumbuh kembang yang tidak optimal karena kurang istirahat.
“Pekerja di sektor formal saja yang diisi orang dewasa hanya bekerja selama 8 jam per hari, anak-anak ini mengaku setiap hari bekerja lebih dari 8 jam, padahal mereka masih anak-anak, yang butuh istirahat cukup (minimal 7 jam/hari) dan makan teratur untuk tumbuh kembangnya. Mereka kerap tak sempat makan, bahkan saking lelahnya, mereka memilih tidur daripada makan, sehingga banyak anak mengalami sakit pencernaan," ungkap Retno lagi.
Menurut keterangan saksi yang sudah alumni sekolah JE, mereka tak hanya di eksploitasi secara ekonomi, namun juga sejumlah anak mendapatkan kekerasan fisik dan psikis, seperti dibentak, dipukul, bahkan diinjak-injak dadanya karena dianggap melakukan kesalahan atau pelanggaran. Kasus dugaan kekerasan fisik pernah dilaporkan kepada pihak kepolisian, namun belum ada tindak lanjut. Para terduga pelaku kekerasan seksual adalah pihak manajemen sekolah JE.
Temuan Pelanggaran Sejumlah Peraturan Perundangan
Pertama, Pelanggaran Pasal 31 UUD 1945 “Setiap orang berhak mendapatkan pengajaran. Berdasarkan kesaksian sejumlah alumni SMA SPI, ada dugaan kuat bahwa sebagian besar waktu para peserta didik SMA SPI lebih banyak mengerjakan bisnis Yayasan SPI dibandingkan duduk di kelas untuk mendapatkan pembelajaran sebagaimana ketentuan dalam standari isi atau kurikulum yang disusun KemendikbudRistek;
Kedua, Pelanggaran pasal 11 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak : “setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luan, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.
Ketiga, Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 pasal 13 ayat (1) tentang perlindungan anak menyebutkan tentang perlakuan eksploitasi merupakan tindakan atau perbuatan yang memperalat memanfaatkan, atau memeras anak untuk memperoleh keuntungan pribadi, keluarga, ataupun goIongan.
Eksploitasi ekonomi pada anak yaitu dengan menyalahgunakan tenaga anak berupa dimanfaatkan fisiknya untuk bekerja demi keuntungan orang yang mengeksploitasinya. Pekerjaan tersebut membuat anak kehilangan hak-haknya, misalnya karena dipaksa bekerja, anak tersebut tidak mendapatkan hak memperoleh pengajaran atau pembelajaran.
Keempat, diduga kuat terjadi pelanggaran pasal 54 (anak harus dilindungi selama berada di lingkungan Pendidikan dari berbagai bentuk kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan maupun sesame peserta didik), dan juga Pasal 76C (membiarkan, melakukan, ikut serta melakukan dan menyruh melakukan kekerasan terhadap anak) UU No. 35 tahun 2014 tentang perubahan UU No. 23/2022 tentang perlindungan anak.
Rekomendasi
1. Mendorong Kepolisian (Polda Jawa Timur) untuk memproses hukum dan mengusut kembali dugaan kekerasan fisik yang sempat di laporkan ke pihak Kepolisian oleh korban yang sudah alumni dari SMA SPI;
2. Mendukung Polda Jawa Timur yang sedang mengusut dugaan eksploitasi ekonomi terhadap anak di SMA SPI. Hal ini diperkuat juga dari hasil pengawasan KPAI dan Itjen KemendikbudRistek yang juga menduga kuat telah terjadi di SMA SPI, Kota Batu selama beberapa tahun (Angkatan ke-2 sampai Angkatan ke-12). Para alumni yang menjadi korban cukup banyak yang bersedia dimintai keterangan;
3. Mendukung KemendikbudRistek untuk memberikan rekomendasi kepada Pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk melakukan langkah-langkah tegas berupa diantaranya penutupan satuan pendidikan dalam hal terjadinya tindak kekerasan yang berulang. Hal ini diatur dalam Permendikbud No. 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan Di Satuan Pendidikan, pasal tentang pemberian sanksi bagi satuan pendidikan kalau tindak kekerasan berulang dan banyak korban. Apalagi kekerasan seksual sudah terbukti di pengadilan, sementara eksploitasi ekonomi terhadap anak dan tindak kekerasan fisik yang dialami sejumlah anak oleh manajemen sekolah menunjukkan bahwa kekerasan tersebut sistemik, bukan oknum. Jadi menutup sekolah tersebut adalah pilihan terbaik demi mencegah ada korban lagi.
4. Mendorong Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur untuk mempertimbangkan sanksi berupa penutupan SMA SPI Batu, Malang, Jawa Timur jika terbukti terjadi pelanggaran hak-hak anak dan sejumlah pelanggaran terhadap peraturan perundangan di Indonesia. Jika terjadi penutupan, maka pemerintah provinsi harus melakukan pemetaan terhadap 143 peserta didik di sekolah JE yang saat ini masih menempuh Pendidikan dari kelas X sampai XII.
Perlu dipetakan asal, apakah masih memiliki keluarga (3 derajat keatas dan kesamping untuk memberikan pengasuhan pengganti), karena mayoritas peserta didik berasal dari berbagai daerah dan beragam kondisi keluarganya, ada yang anak yatim, anak piatu dan anak yatim piatu. Selain assesmen pencapaian hasil belajar dan asesmen psikologi untuk mengetahui keinginan anak melanjutkan pendidikannya ke sekolah lain jika Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur memberikan sanksi penutupan sekolah;
5. Mendorong Kick Andy cabut penghargaan Kick Andy Heroes Julianto Eka Putra pasca putusan PN Batu yang menyatakan terdakwa terbukti bersalah secara sah dan menyakinkan melakukan kekerasan seksual dan pecabulan terhadap anak didik di sekolah SPI, sebaiknya tidak perlu menunggu putusan in kracht. Karena selain kekerasan seksual terjadi juga dugaan kekerasan fisik dan eksploitasi anak di lingkungan sekolah SPI dimana JE mendapatkan Kick Andy Heroes justru karena dianggap pahlawan bagi anak-anak miskin, yatim/piatu dan yatim piatu di sekolah tersebut. Apakah masih layak menyandang Heroes?