Yogyakarta, Gatra.com – Menteri Hukum dan HAM Yosoana Laoly menyatakan tidak ingin ada pihak lain yang terlibat dalam penentuan remisi maupun masa pembebasan bersyarat narapidana. Pemberian remisi dan pembebasan bersyarat menurutnya sudah sesuai dengan peraturan.
Sebelumnya, beberapa pakar hukum meminta dalam penentuan remisi dan pembebasan bersyarat terhadap narapidana melibatkan pihak luar seperti Komnas HAM dan Ombudsman RI sehingga muncul keterbukaan.
“Bagaimana, ini bukan tugas mereka. Yang melakukan pembinaan terhadap napi adalah kewenangan kita,” kata Yosana, Sabtu (10/9) di LP Wirogunan, Kota Yogyakarta.
Yasonna berada di Daerah Istimewa Yogyakarta untuk menghadiri peresmian gedung Balai Pemasyarakatan (BAPAS) yang baru selesai dibangun di Godean, Sleman dan peluncuran aplikasi Assessment Center Narapidana (Ascena).
Dalam arahannya, Yasonna menyatakan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat pada napi-napi yang merupakan orang-orang high profile, yang dulu dianggap sebagai extra ordinary crime sudah sesuai dengan kebijakan pemerintah.
Keputusan itu sesuai dengan amanat yang tertuang di UU nomor 22 tahun 2022 tentang Pemasyarakatan dan adanya judicial review PP nomor 99 tahun 2012 yang dikeluarkan Mahkamah Konstitusi (MK).
“Memang aturan UU dan dikabulkannya judicial review PP 99 oleh MK. Maka seluruh napi berhak mendapatkan remisi, pembebasan bersyarat Setiap orang tanpa lagi justice kolaborator, sekarang sudah dapat pembebasan bersyarat,” ungkapnya.
Tapi dirinya mengingatkan kehadiran UU nomor 22/2022 dan judicial review PP 99 ini akan menghadirkan tantangan dalam pelaksanaan dan memunculkan kritik pedas.
Karenanya Ia meminta bagi warga binaan yang memasuki masa pembebasan bersyarat. Bapas diminta untuk melaksanakan fungsi dan tanggung jawabnya dalam mengawasi serta membina dengan baik.
“Sehingga proses pembebasan bersyarat berjalan dengan baik. Kehadiran aplikasi Ascena merupakan bagian yang terintegrasi dalam pemantauan warga binaan semenjak dia masuk, pemberian remisi, pembebasan bersyarat sampai keluar nantinya,” katanya.
Tidak hanya itu, Yasonna menyebut kehadiran UU nomor 22/2022 dan didukung pengesahan revisi UU Narkotika. Menurutnya akan menjauhkan tekanan masyarakat pada lapas-lapas maupun tahanan.
Baginya dengan revisi UU Narkotika nanti, kemampuan keuangan negara dalam mengelola lapas dibanding dengan penambahan warga binaan, terutama narkoba tidak akan setara.
“Negara tidak akan mampu memenuhi, dengan kemampuan finansial berpacu membangun lapas dan menampung warga binaan. Saya berharap kehadiran UU, kemudian peraturan pemerintah yang dibahas secara bertahap lapas kita berubah dengan baik,” jelasnya.
Adanya program asimilasi dan integrasi pada saat Covid-19, dengan keluarnya 100-an ribu lebih tahanan mampu memberi ruang bagi tahanan baru. Jika ini tidak terjadi, maka lapas-lapas dipastikan sesak.
Untuk sekali melakukan sekali kita melakukan program asimilasi dan integrasi pada saat covid. Yg sudah mengeluarkan 100 -an ribu lebih narapidana. Kalau dibayangkan ditambahkan katakana 100 ribu betapa sesaknya.
Dirinya juga meminta adanya perubahan pola pikir dan petugas mengenai remisi karena masih ditemukan adanya petugas yang menyimpan surat keputusan remisi dan pembebasan bersyarat yang sudah ia teken.
“Jika di meja saya ada surat permohonan remisi atau pembebasan bersyarat dari bawah, ini menjadi prioritas utama yang saya dahulukan karena rasa kemanusiaan,” ujarnya.