Jakarta, Gatra.com – Wakil Rektor dan Ekonom Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Nazaruddin Malik menjelaskan bagaimana saja strategi mendistribusi BBM subsidi agar tepat sasaran dalam Webinar Partai Perindo “Pasca Kenaikan Harga BBM Bagaimana Sistem Pengawasan Agar Tidak Menguap Lagi?” melalui Zoom Meeting dan siaran langsung YouTube, Jumat (09/09).
Pada 2020, menurut Nazaruddin Malik, 45 persen penduduk rentan miskin sebanyak 115 juta orang. Kemudian, pada 2022, jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 67 persen atau 180 juta penduduk.
Selain kemiskinan, terdapat efek pandemi dan perang Rusia-Ukraina serta ekonomi kartel pangan (pertumbuhan GDP 2022 yang impresif 5,44 persen hanya dinikmati kalangan atas atau korporat besar), problem kelangkaan dan keadilan dari kenaikan BBM, inflasi dan penurunan GDP.
Untuk mewujudkan APBN yang berkeadilan, penyelesaian masalah fiskal untuk menjaga stabilitas dan yang berkeadilan dapat berupa free rider and rent seeking behaviour.
Bagi Nazaruddin, kiat untuk menjaga infasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi antara lain menambah besaran anggaran Bansos (BLT) dan memperbaiki efektivitas distribusinya, diberlakukannya bantuan sembako, biaya pendidikan dan bantuan subsidi upah, penggunaan dana alokasi umum (DAU) dan dana bagi hasil (DBH) daerah untuk subsidi, melakukan gotong royong dan gerakan solidaritas untuk menahan laju inflasi dan pemberian insentif produksi dan produktivitas untuk UMKM dan sektor informal.
Untuk menyelesaikan masalah distribusi BBM bersubsidi tepat sasaran, Nazaruddin menganjurkan untuk merevisi Perpres 191/2014 yang belum mengatur konsumsi Pertalite secara khusus, mencegah agar kuota konsumsi BBM bersubsidi tidak jebol, meningkatkan koordinasi dan sinergi lintas instansi bersama BPN Migas agar terjadi peningkatan kesadaran dan mencegah pelanggaran konsumsi, menekan kebocoran anggaran yang dalam analisis ICOR sekitar 3 hingga 50 persen, pelibatan secara aktif KPPU dalam pengawasan distribusi dan konsumsi migas dan mendorong BP Hulu Migas meningkatkan eksplorasi dan eksploitasi migas dari lifting 61 ribu barrel per hari dibandingkan konsumsi pada umumnya yang 1,4 juta barrel per hari.
Pemerintah menciptakan program pengalihan subsidi BBM antara lain Bantuan Langsung Tunai (BLT) dengan keterangan peserta 20,65 juta keluarga dan alokasi dana Rp12,4 triliun, Bantuan Subsidi Upah (BSU) dengan keterangan peserta 16 juta pekerja dan alokasi dananya Rp9,6 triliun dan Bansos Pemda dengan keterangan dana transfer umum dan alokasi dananya Rp2,17 triliun.
Nazaruddin menampilkan data persentase inflasi tahunan dan kenaikan harga BBM bersubsidi mulai dari Maret 2005 hingga Maret 2018. Inflasi tertinggi persentasenya terjadi di bulan Maret dan Oktober 2005 dengan masing-masing persentase 17, 11 persen. Sementara yang terendah terjadi di bulan Maret 2016 dengan persentase 3,02 persen.
“Saya tadi selalu mengingatkan bahwa pilihan dalam membuat public policy, economic public policy, maka terkait dengan strategis public goods semacam bahan bakar minyak. Itu selalu pilihan sulit bagi pemerintah di manapun. Jika kita menggunakan pendekatan ekonomi politik, maka kita akan lihat tadi yang pro maupun yang kontra. Semuanya tentu dengan argumentasi masing-masing. Maka, ketika pilihan sudah dibuat, harapannya tentu semoga masyarakat dapat lebih kritis tadi termasuk memanfaatkan fasilitas yang disediakan misalnya tadi melalui MyPertamina, ya menggunakan bbm secara bijak ini juga penting,” jelasnya.
“Artinya karena BBM ini kan di Indonesia, menurut saya belum tepat sasaran. Nah ini nih yang perlu dukungan dari segenap elemen masyarakat untuk lebih menyampingkan kepentingan pribadi dan lebih mengutamakan kepentingan bersama. Satu hal yang perlu di antisipasi oleh pemerintah adalah bahwa upaya untuk meredam laju inflasi ini harus dilakukan secara masif dan taktis. Di sisi lain, kita berharap bahwa efek dari bantuan langsung maupun aneka skema pengalihan alokasi bbm subsidi BBM ini bisa sampai ke tangan masyarakat yang berhak dengan tepat sasaran, sehingga memperkecil gap dengan inflasi itu tadi. Harapannya kalau ekonomi itu, biasanya dia ikuti jangka waktu dari sebuah kebijakan ada yang jangka pendek, ada yang jangka panjang. Paling tidak dalam durasi yang tidak terlalu lama kurang dari satu tahun, stabilisasi APBN ini bisa banyak yang lebih berkeadilan,” tutupnya.