Jakarta, Gatra.com - Sengkarut kasus pembunuhan yang dilakukan bekas Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam), Irjen Pol, Ferdy Sambo, terhadap anak buahnya, Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat, disorot banyak pihak. Laksamana Muda TNI (Purn), Soleman B. Ponto, bahkan menyebut kasus itu cerminan bahwa Polri tumbuh menjadi 'liar'.
Bukan tanpa alasan Ponto mengatakan hal itu. Pasalnya, pengungkapan tragedi pembunuhan ini menjalar ke banyak kasus, salah satunya dugaan konsorsium judi online yang disebut-sebut menyeret Sambo.
Keliaran tersebut dinilai Ponto akibat dari lemahnya pengawasan di tubuh Polri. Selain itu, yang justru membuat Ponto heran, masih banyak pihak yang memuji kinerja Polri.
Ini bisa terlihat ketika Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dipanggil DPR untuk menjelaskan carut-marut kasus anak buahnya itu, pada 24 Agustus 2022 lalu. DPR kerap memuji langkah Polri. Padahal, menurut Ponto, mengusut kasus pidana yang dilakukan anggota aktifnya memang sudah kewajiban dari Polri sendiri.
"Terjadinya kasus Sambo karena pembinaan tidak benar, sehingga lahir polisi seperti Sambo," kata Ponto ketika berkunjung ke kantor Gatra, Kalibata, Jakarta Selatan, Kamis (8/9).
Ponto menambahkan, reformasi di tubuh Polri masih jauh dari selesai. Belum lagi kulturnya yang begitu militer. Menurut mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI ini, harusnya kultur Polri adalah kultur sipil, bukan militer. Ini berangkat dari pemisahan TNI dengan Polri pada 1 April 1999 silam. Tujuannya, agar polisi lebih bisa mengayomi sipil.
Pengawasan ketat di institusi Polri, mulai sumber daya manusianya, kultur yang berkembang, hingga anggaran, adalah hal mutlak. Menurut Ponto, jika kultur sudah dibangun dengan baik, tumbuh kedisiplinan, dan aturan pun bisa ditegakkan.
"Semua (arahan) sekarang dari presiden. Setelahnya harus didukung DPR. Kalau tak ada perubahan, akan lahir Sambo Sambo baru. Ancaman tetap, struktur tetap, kultur tetap," kata alumnus Akademi Angkatan Laut tahun 1978 ini.