Jakarta, Gatra.com - Isu Hak Asasi Perempuan akan dibawa oleh Cedaw Working Group Indonesia (CWGI) di pelaksanaan forum Universal Periodic Review (UPR) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Topik bahasan yang dibawa, tentunya diharapkan bisa menjadi sebuah saran atas kebijakan pemerintah yang berkenaan dengan isu terkait.
Aktivis CWGU, Listyowati, menyebut dalam kiprah di forum UPR PBB, telah terdapat poin-poin yang pernah menjadi rekomendasi pada 2017 lalu yang masuk kembali di laporan tahun ini. Listyowati menyebutkan bahwa 3 poin yang dimaksud yakni catatan meliputi perkawinan usia anak, kekerasan seksual, serta sunat perempuan.
Baca Juga: Bawa Isu Penegakkan Hak Asasi Perempuan, Ini Isi Laporan CWGI Untuk Forum PBB
"Setelah rekomendasi keluar, kita melakukan dialog dengan pemerintah. Ada dampaknya ketika rekomendasi PBB keluar, pemerintah Indonesia melakukan sesuatu terhadap isu itu," ujarnya dalam konferensi pers yang digelar CWGI, Jumat (9/9).
Sejak UPR yang ke-3 pada 2017 lalu, CWGI dan kelompok masyarakat sipil terus melakukan dialog dengan pemerintah untuk menerbitkan aturan yang bisa mengakomodasi hasil rekomendasi.
Salah satu Hasilnya, komunikasi dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bisa mendorong adanya revisi usia pernikahan anak. Pada laporan tahun ini, CWGI menyoroti masih adanya dispensasi perkawinan anak meskipun usia anak menikah sudah menjadi 19 tahun dari yang sebelumnya 16 tahun.
Baca Juga: Raja Charles III akan Berpidato di Depan Publik Pasca Meninggalnya Ratu Elizabeth
Selain itu, isu sunat perempuan juga meendapat perhatian dari pemerintah sejak direkomendasikan pada 2017 lalu.
"Satu, sudah secara resmi pemerintah mengatakan bahwa sunat perempuan bukan merupakan tindakan medis. Satu lagi progresnya adalah, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sudah menyusun aksi nasional untuk pencegahan praktik sunat perempuan," katanya.
Poin yang dijelaskan Listyowati, kembali masuk dalam laporan tahun ini karena bagaimana implementasinya yang belum berjalan. Ketegasan pemberian hukuman terhadap tenaga medis yang masih melakukan sunat perempuan meskipun sudah dilarang juga belum terlihat.
"Tentu isu kekerasan seksual, hasil rekomendasinya terwujud melalui adanya Undang-Undang Tindak Pencegahan Kekerasan Seksual," tegasnya.