Jakarta, Gatra.com – Masyarakat Hukum Adat (MHA) Suku Arfak Sougb di Kabupaten Bintuni, Papua Barat, sangat menghargai dan menjunjung tinggi perempuan dalam hukum adat yang menjadi pedoman kehidupan mereka.
Ketua Tim Peneliti MHA Suku Arfak Sougb, Prof. Dr. Dra. MG. Endang Sumiarni, S.H., M.Hum., dalam penyampaian paparan secara virtual, Kamis (8/9), menyampaikan, itu merupakan hasil penelitian pihaknya. Salah satu bentuknya adalah perempuan tidak boleh berhubungan suami istri hingga sekitar 6 bulan pascamelahirkan.
“Sampai dengan usia anak 6 bulan, bahkan ada yang sampai 2 tahun baru boleh berhubungan suami istri [pascamelahirkan],” katanya.
Endang menjelaskan, itu menunjukkan bahwa penghormatan terhadap kaum perempuan, untuk memastikan perempuan itu dalam kondisi sehat saat akan berhubungan intim dengan suaminya. “Itu menghargai perempuan biar sehat, fit, itu luar biasa,” katanya.
Saking Suku Arfak Sougb menghargai, menjunjung tinggi, dan melindungi kaum perempuan, dalam delik adat mereka bahwa laki-laki bisa melakukan pembunuhan terhadap orang yang mengganggu istri dan anak perempuannya.
Baca Juga: Masyarakat Adat Osing Minta Dilibatkan dalam Pengembangan Desa Wisata Budaya
“Mereka sangat menghargai perempuan itu luar biasa secara hukum adat penghargaanya,” kata Guru Besar Fakultas Hukum (FH) Universitas Atmajaya Yogyakarta tersebut.
Selain itu, mereka sangat menghargai alam dan mengutamakan kesehatan. Dalam hukum adatnya, melarang perempuan melahirkan di dekat mata air. Pasalnya, darah dari melahirkan itu bisa mengotori air yang menyebabkan masyarakat adat sesak napas dan batuk.
“Kalau dilanggar, semua masyarakat bisa terkena batuk dan sesak napas karena rembesan darah kotor. Sudah mengenal hukum kesehatan,” ucapnya.
Kemudian, dalam memilih kepala suku, hanya sosok yang berkualitaslah yang akan dipilih dalam MHA Suku Arfak Sougb. Kepala suku dipilih karena kualitas, vokal atau aktif dalam pemerintahan, agama, dan adat.
“Jadi yang dipilih yang cakap dan berkualitas bukan karena keturunan. Dalam perkembangan telah terjadi pergeseran, yang dipilih yang berkualitas, selain berwibawa, berani menyuarakan hak-hak mereka,” katanya.
Endang menjelaskan, MHA Suku Arfak Sougb sangat menjunjung tinggi hukum adatnya sebagai pedoman dalam berbagai sendi kehidupan. Hukum adat Suku Arfak Sougb tersebut di antaranya mengatur harta kekayaan dan wilayah hak ulayat (CINOGOG), kekerabatan, perkawinan, perceraian, hukum waris hingga delik pidana adat.
Endang menjelaskan, itu merupakan hasil penelitian Tim Peneliti FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta yang dipimpin olehnya bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Papua Barat. Penelitiannya tentang eksistensi masyarakat hukum adat.
Hasil dari penelitian tersebut, lanjut Endang, didokumentasikan dalam bentuk buku berjudul “Pengakuan dan Pelindungan Terhadap Eksistensi Masyarakat Hukum Adat Suku Arfak Sougb di Kabupaten Bintuni, Provinsi Papua Barat”.
Penelitian tentang hukum adat telah banyak dilakukan untuk daerah-daerah lainnya di Indonesia, tetapi penelitian tentang hukum adat Arfak Sougb di Kabupaten Teluk Bintuni yang sifatnya komprehensif (luas dan mendalam) sejauh pengamatan tim peneliti, belum pernah dilakukan.
Penelitian hukum adat Suku Arfak Sougb di Kabupaten Teluk Bintuni ini, untuk mendokumentasikan hukum adat yang hidup di tengah-tengah masyarakat hukum adat suku Arfak Sougb di Kabupaten Teluk Bintuni, yang diyakini kebenarannya dan ditaati.
Menurutnya, hasil dari penelitian ini bukan dimaksudkan untuk menjadikan hukum adat sebagai hukum yang tertulis, terlebih bukan untuk mempositipkan hukum adat masyarakat hukum adat Suku Arfak Sougb di Kabupaten Teluk Bintuni.
Pendokumentasian hukum adat ini dimaksudkan agar hukum adat Arfak Sougb di Kabupaten Teluk Bintuni, yang di dalamnya tersirat kearifan-kearifan lokal bagi pedoman perilaku masyarakat, tidak hilang ditelan waktu.
Selain pemaparan hasil penelitian, acara tersebut juga membedah buku “Pengakuan dan Pelindungan Terhadap Eksistensi Masyarakat Hukum Adat Suku Arfak Sougb di Kabupaten Bintuni Provinsi Papua Barat”.
“Masyarakat Hukum Adat Suku Arfak Sougb adalah salah satu MHA yang ada yang masih menjunjung tinggi hukum adat dalam kehidupan sehari-harinya,” katanya.
Pada acara bedah buku hasil penelitian berjudul “Pengakuan dan Pelindungan Terhadap Eksistensi Masyarakat Hukum Adat Suku Arfak Sougb di Kabupaten Bintuni, Provinsi Papua Barat” diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Universitas Atmajaya Yogyakarta bekerja sama dengan Asosiasi Hukum Adat (APHA) Indonesia, Prof. Dr. Dra. MG. Endang Sumiarni, S.H., M.Hum.
Baca Juga: RUU MHA Mandek, APHA: Masyarakat Adat Jangan Terbuai 'Angin Surga'
“Masyarakat Hukum Adat Suku Arfak Sougb adalah salah satu MHA yang ada yang masih menjunjung tinggi hukum adat dalam kehidupan sehari-harinya,” kata dia.
Sementara itu, Dr. Laksanto Utomo, S.H., MHum selaku Pembahas dalam acara ini mengatakan “di tengah kondisi MHA yang tidak menyenangkan di mana Pengakuan Negara yang setengah hati. Menurutnya, banyak masyarakat yang menjadi korban pembangunan dan investasi semakin tersudut dengan perkembangan zaman dan modernisasi. “Buku ini bagaikan Oase di tengah gurun pasir,” katanya.
Laksanto juga menilai secara keseluruhan buku ini sangat baik dan komprehensif digunakan sebagai bukti eksistensi masyarakat hukum adat Suku Arfak Sougb. Selain itu juga buku ini dapat panduan untuk kajian dan penelitian MHA yang akan dating.
Buku Pengakuan dan Pelindungan Terhadap Eksistensi Masyarakat Hukum Adat Suku Arfak Sougb di Kabupaten Bintuni Provinsi Papua Barat di tulis oleh Prof. Dr. Dra. MG. Endang Sumiarni, S.H., M.Hum, Dr. Roberth K.R Hammar, S.H., M.Hum., M.M, dan Dr Henrikus Renjaan, S.H., LL.M. Y. Sri Pudyatmoko, S.H., M.Hum, Yustina Niken Sharaningtyas, S.H., M.H, Dr. Yusuf Sawaki, S.S., M.A, Dr. George Frans Wanma, S.H., M.H. dan Baso Daeng, S.P., M.Si.
Acara Bedah Buku Pengakuan dan Pelindungan Terhadap Eksistensi Masyarakat Hukum Adat Suku Arfak Sougb di Bintuni, Papua Barat, diselenggarakan oleh LPPM Universitas Atma Jaya Yogyakarta bekerja sama dengan Asosiasi Hukum Adat (APHA) dengan moderator Sekhar Chandra Pawana, SH, M.H.