Jakarta, Gatra.com –Survei Indikator Politik Indonesia menemukan adanya indikasi persepsi publik bahwa kondisi ekonomi nasional Indonesia sedang memburuk saat ini. Indikasi itu pun bahkan muncul pada akhir Agustus 2022 silam, di mana pemerintah belum menaikkan harga BBM secara resmi pada Sabtu (3/9) silam.
“Jadi di survei terakhir, bulan Agustus terakhir, memang ada indikasi persepsi ekonomi yang memburuk, bahkan sebelum secara resmi pemerintah menaikkan harga BBM,” jelas Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi, dalam rilis survei bertajuk Sikap Publik terhadap Pengurangan Subsidi BBM, pada Rabu (7/9).
Indikasi itu tampak dalam temuan survei, yang menyebut bahwa ada lebih banyak masyarakat yang menganggap kondisi ekonomi Indonesia saat ini sedang dalam keadaan buruk dibanding baik. Dengan total 39,2% menilai buruk ataupun sangat buruk, dan 29,2% mengatakan baik ataupun sangat baik.
Menariknya, indikasi persepsi publik terhadap kondisi ekonomi nasional tak tegak lurus berdampak pada persepsi atas kepuasan kinerja Presiden Joko Widodo. Karena dalam survei tersebut, mayoritas masyarakat justru menyatakan bahwa mereka puas dengan kinerja Jokowi.
Hal itu tampak dari temuan selanjutnya, yang mencatat bahwa sebanyak 69,87% responden mengaku puas dengan kinerja Jokowi, sementara hanya 28,45% yang mengaku tidak puas dengan kinerja Presiden.
Kenaikan itulah, yang Burhanuddin duga telah dijadikan momentum oleh pemerintah untuk membuat kebijakan terkait kenaikan harga BBM. Dengan kata lain, Burhanuddin menduga bahwa pemerintah telah lebih dulu mengantisipasi dampak dari pemberlakuan kebijakan tidak popular tersebut.
“Kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga BBM, itu dilakukan pada saat approval rating Presiden meningkat. Apa artinya? Artinya, sepertinya pemerintah sudah mengantisipasi bahwa ini kebijakan yang tidak populer, dan karenanya tidak dilakukan di saat approval rating-nya turun,” kata Burhanuddin dalam acara perilisan tersebut.
Ia pun mengatakan, apabila diberlakukan saat approval rating Presiden turun hingga ke angka 58,1% seperti pada bulan Mei 2022 silam, kebijakan tersebut akan menjadi lebih berbahaya secara politik.
“Kalau sekarang, sedang meningkat approval rating. Jadi kalaupun toh, akhirnya kebijakan tersebut memukul approval rating Presiden, itu diharapkan tidak sampai di bawah 50 %,” jelas Burhanuddin.
Dalam pemaparannya, Burhanuddin juga menggarisbawahi bagaimana pulihnya kepuasan kinerja publik terhadap Jokowi juga terjadi di kalangan elite. Sebagaimana Burhanuddin katakan, tujuh dari sembilan partai politik pendukung pemerintah, saat ini tengah menjadi bagian dari pemerintahan.
“Dan karenanya, mereka sepertinya akan mendukung kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM,” ujarnya.