Jakarta, Gatra.com - Peternak unggas mandiri se-Pulau Jawa dan Bali yang tergabung dalam Komunitas Peternak Unggas Nasional (KPUN) menggelar aksi unjuk rasa di depan Istana Negara. Mereka mendesak pemerintah segera menyusun Peraturan Pemerintah (PP) Perlindungan Peternak, sebagai imbas dari harga sarana produksi peternak selalu lebih tinggi dari harga jual ayam hidup.
Ketua KPUN, Alvino Antonio, mengatakan harga tersebut membuat peternak selalu merugi. Adapun biaya produksi unggas mandiri saat ini Rp21.000 kilogram sementara harga jual ayam saat ini di tingkat hanya Rp17.000/kilogram. KPUN menyebut harga input produksi seperti DOC (Day Old Chicken) dan pakan tidak mengikuti fluktuasi harga jual ayam hidup di tingkat peternak.
"Kami menuntut mendapatkan DOC dan sapronak secara berkesinambungan dengan harga yang wajar karena itu merupakan komponen penting pembentukan harga pokok produksi," ujar Alvino saat memimpin aksi di depan Istana Negara, KPK dan KPPU, Jakarta, Rabu (7/9).
Alvino mengungkapkan, selama ini peternak unggas mandiri tidak pernah mendapat insentif dalam bentuk apapun dari pemerintah. Dampaknya pun, populasi peternak semakin berkurang.
Sejak tahun 2000-an jumlah peternak mandiri telah berkurang hingga 85 persen. Ia juga berujar saat ini banyak peternak gulung tikar karena kerugian yang tak berujung.
"Tahun 2000-an jumlah peternak sebanyak 2,5 juta peternak dengan asumsi 90 persen populasi nasional dikuasai oleh peternak rakyat. Sekarang tinggal 35.280 peternak," ungkap Alvino.
PP Perlindungan Peternak nantinya diyakini dapat mengontrol harga input para peternak unggas. Selain itu, pemerintah didesak segera membuat standarisasi SNI untuk pakan dan DOC.
Sedangkan bila terjadi kelebihan pasokan, maka pemerintah wajib melakukan pemerataan dengan mendistribusikan ayam dari daerah surplus ke daerah defisit, serta bersinergi dengan integrator.
"Para integrator dalam role model bisnisnya harus menyertakan market ayam karkas. Suplai harus disesuaikan dengan demand. Mereka (integrator) tidak boleh budidaya final stock atau livebird," jelas Alvino.
Lebih lanjut, Alvino mengatakan pihaknya mendorong pemerintah untuk mengatur ulang kuota Grand Parent Stock (GPS) nasional. Sebab, kata Alvino, 64 persen kuota GPS dikuasai oleh 2 integrator raksasa.
"Atur kuota GPS dan biarkan perusahaan bersaing secara sehat di hulu," imbuh Alvino.
Di samping itu, Alvino melanjutkan, integrator juga harus fokus membantu peternak mandiri dengan menyediakan sapronak seperti DOC dan pakan yang sesuai SNI dengan harga yang terjangkau. Pemerintah, kata Alvino, harus memberikan sanksi yang tegas bagi industri (perusahaan integrator) yang melanggar Undang-undang dan mematikan ekonomi rakyat.
"Pemerintah juga harus memaksimalkan Badan Pangan Nasional sebagai buffer untuk melindungi dan menyerap produksi peternakan mandiri," tandas Alvino.