Jakarta, Gatra.com - Permasalahan di tubuh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini membuat kepercayaan publik terhadap lembaga antirasuah ini menurun.
Data dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada Agustus 2022 lalu menunjukkan KPK berada di posisi ke-3 dari 4 lembaga penegak hukum yang cukup dipercaya oleh publik. Ini menjadi catatan agar perbaikan dilakukan demi kemajuan bersama.
Terkhusus KPK, peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Lola Esther, melihat bahwa perumusan aturan di tingkat legislatif dapat mendorong perbaikan di dalam lembaga.
"Regulasi pemberantasan korupsi itu krusial. RUU Perampasan Aset, RUU Pembatasan Transaksi Mata Uang Kartal, semuanya belum masuk ke dalam prioritas," ucapnya dalam acara diskusi yang digelar oleh Total Politik secara daring, Selasa (6/9) malam.
Selain itu, pemberantasan korupsi hingga ke akarnya menjadi unsur yang harus diperhatikan. Menurut Lola, penyelesaian kasus seringkali berhenti setelah tersangka ditetapkan namun tidak menguak seluruhnya.
Ia mengandaikan jika koruptor adalah anggota partai, maka perlu ditelusuri apakah uang tersebut sampai pada partai atau tidak. Ini artinya sumber permasalahan bisa ditemukan dan pencegahan pemberantasan bisa dilakukan.
Pendiri THEMIS Indonesia, Feri Amsari menyebutkan jika perbaikan lembaga terutama KPK banyak dipengaruhi oleh eksekutif. Sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, eksekutif bisa menunjukkan posisinya dalam upaya pemberantasan korupsi maupun penegakan hukum lainnya.
"Siapakah yang bisa menentukan perubahan? Pilihannya ada di presiden. Kita menganut sistem presidensial, sentral kekuasaan ada di presiden. Kalau presiden mau betul-betul terlibat memberantas korupsi, maka menguatkan KPK. Tapi sejauh ini saya belum pernah melihat presiden yang seperti itu," ucap Feri.
Feri mengatakan bahwa cara optimis tapi rasional itu melalui problematika dan cara menyelesaikan, namun bila pihak yang memiliki wewenang tidak menyelesaikannya, maka yang terjadi adalah hilangnya kepercayaan publik.
Pengamat Politik sekaligus peneliti dari CSIS, Arya Fernandes, mengatakan bahwa indikator tingkat kepercayaan publik harus ditentukan agar terlihat dengan jelas sejauh mana publik bisa menilai KPK maupun lembaga penegak hukum lainnya.
Ia mengemukakakan ada 4 indikator yang bisa dipakai sebagai ukuran kepercayaan publik.
"Satu, inovasi. Mana dari keempat lembaga penegak hukum (KPK, Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan) yang melakukan inovasi? KPK sejauh mana?" katanya.
Kedua, kinerja atau pencapaian. Arya mengatakan bahwa penyelesaian kasus di masing-masing lembaga dapat dilihat dan dijadikan patokan.
Selanjutnya, image juga menjadi penilaian dalam menentukan kepercayaan publik. Terakhir, penegakan etika menjadi kunci. Hampir semua kasus di tingkat internal lembaga merupakan pelanggaran etik oleh anggota lembaga itu sendiri.
Lebih jauh, Arya juga melihat bahwa kekuasaan yang dimiliki masing-masinh lembaga harus dibatasi. Naluri penguasa untuk terus melanjutkan dan melebarkan kekuasaannya harus ditekan dengan melihat fungsi check dan balancing antar-lembaga.