Home Hukum Enam Anggota TNI Pelaku Extrajudicial Killing Harus Diadili di Peradilan Umum

Enam Anggota TNI Pelaku Extrajudicial Killing Harus Diadili di Peradilan Umum

Jakarta, Gatra.com – LBH Jakarta mengutuk keras kasus pembunuhan dan mutilasi 4 orang warga Papua di Kabupaten Mimika oleh 6 oknum anggota TNI dan 3 warga sipil. Ini merupakan kejahatan yang sangat kejam dan biadab.

Diketahui bahwa saat ini 6 oknum anggota TNI dan 3 warga sipil tersebut sudah ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka. Peristiwa tersebut merupakan bentuk pelanggaran hak untuk hidup berdasarkan instrumen hukum dan hak asasi manusia (HAM) Nasional dan Internasional.

Dalam peristiwa keji tersebut, LBH berpandangan bahwa tindakan yang dilakukan oleh ke-6 anggota TNI tersebut merupakan tindak pidana umum, sehingga harus diproses di peradilan umum berdasarkan peraturan yang tertuang dalam Pasal 65 Ayat (2) Undang-Undang (UU) No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Baca Juga: Simpatisan Dibantai, TPNPB OPM Ngamuk Ancam Jokowi, Ini Oknum TNI yang Terlibat

“Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang,” demikian LBH Jakarta dalam pernyataan sikapnya pada Jumat (2/9).

Hal tersebut juga diperkuat oleh Pasal 3 Ayat (4) a TAP MPR No. VII/2000 tentang Peran TNI dan Polri. LBH Jakarta mendesak semuanya harus diproses dan diadili melalui proses peradilan yang adil, bebas, dan tidak memihak, agar semua proses dapat dipantau oleh publik dan memastikan pemenuhan hak atas kebenaran dan keadilan bagi korban dan keluarganya serta mencegah terjadinya impunitas. 

Selanjutnya, proses pengungkapan kebenaran peristiwa pembunuhan 4 warga Papua ini juga harus melibatkan dan memberikan akses kepada Lembaga Negara Independen seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI, atau jika diperlukan pemerintah dapat membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang bertanggung jawab langsung kepada presiden untuk memastikan semua proses berjalan.

Hal yang tidak kalah penting adalah ini bukan pertama kalinya di Papua terdapat rantai dan jejak kekerasan oleh aparat negara terhadap warga sipil. Peristiwa ini hanya pengulangan dari kejadian-kejadian sebelumnya.

Contohnya, kejadian pembunuhan pendeta Yeremia, penyiksaan yang seorang disabilitas oleh 2 oknum anggota TNI AU, bahkan berdasarkan data penanganan kasus di Bidang Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM tahun 2020-2021, tercatat 480 kasus atau 41,31 persen dari total 1.182 kasus yang ditangani terkait dengan pelaksanaan kerja-kerja anggota Polri.

Baca Juga: Wanita Asal Tegal Dibunuh Lalu Dimutilasi, Ayah Korban Ungkap Ini

Bukan hanya itu, ada juga kasus pelanggaran HAM Berat di Papua, misalnya kasus Biak Berdarah Juli 1998, kasus Wasior Berdarah Juni 2001, kasus Wamena Berdarah April 2003, kasus Universitas Cenderawasih Jayapura Maret 2006, dan kasus Paniai Berdarah Desember 2014.

LBH Jakarta juga menilai pelanggaran HAM di Papua yang tiada henti merupakan dampak dari operasi militer yang dilakukan pasukan TNI secara ilegal karena pada dasarnya operasi untuk perang maupun bukan harus atas dasar keputusan politik negara dan ketetapan presiden setelah berkonsultasi dengan DPR RI sebagaimana Pasal 7 Ayat (3) UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. 

Terakhir, tragedi kemanusiaan ini harus juga menjadi peringatan utama pemerintah dan DPR RI untuk melanjutkan reformasi peradilan militer dengan melakukan revisi sistematis atas UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang notabene adalah biang segala bentuk impunitas kejahatan yang dilakukan TNI. Langkah tersebut merupakan bentuk dari reformasi akses atas keadilan di Indonesia.

301