Jakarta, Gatra.com- Komisaris Besar Polisi Edwin Hatorangan Hariandja, dipecat dari jabatannya sebagai Kapolres Bandara Soekarno-Hatta (Soetta). Pemberhentian Tidak Dengan Terhormat (PTDH) itu dilakukan melalui sidang etik yang digelar oleh Komisi Kode Etik Polri (KKEP) di ruang Sidang Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri Gedung TNCC, Mabes Polri, Jakarta Selatan, Selasa (30/8).
Edwin selaku atasan penyidik terbukti tidak mengawasi dan mengendalikan terkait penanganan perkara Laporan Polisi Nomor: LP/103/K/VI/2021/RESTA BSH tanggal 30 Juni 2021 yang ditangani oleh Penyidik Satresnarkoba Polresta Bandara Soetta, sehingga proses penyidikan yang dilakukan oleh anggotanya tidak sesuai dengan aturan yang berlaku.
Edwin juga diduga menerima uang dari Kasat Reserse Narkoba yang berasal dari barang bukti yang disita dari penanganan kasus sebesar USD 225 ribu atau senilai Rp3,3 miliar dan SGD 376 ribu yang digunakan untuk kepentingan pribadi.
Edwin tak bergerak sendiri. Ia ditengarai melakukan aksi itu bersama 10 anggotanya.
"Berdasarkan hasil sidang KKEP terduga pelanggar terbukti telah melakukan ketidakprofesionalan dan penyalahgunaan wewenang sehingga komisi memutuskan sanksi bersifat etika yaitu perilaku pelanggar dinyatakan sebagai perbuatan tercela, dan sanksi administratif berupa Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) sebagai anggota Polri," kata Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Polisi Dedi Prasetyo dalam keterangan tertulisnya, Rabu (31/8).
Edwin langsung menyatakan banding. Selain Edwin, ada dua anggota Polri, yakni mantan Kasat Reserse Narkoba Polres Bandara Soetta, AKP Nasrandi dan Kasubnit Satresnarkoba Polres Bandara Soetta Iptu Triono A yang turut diberikan sanksi PTDH.
Adapun putusan demosi lima tahun diberikan kepada Kanit Satresnarkoba Polres Bandara Soetta Iptu Pius Sinaga dan demosi dua tahun diberikan kepada 7 personel Bintara yang merupakan anggota Satresnarkoba Polres Bandara Soetta, kata Dedi.
Sayangnya, sidang etik itu tidak diiringi dengan sanksi pidana. Poin ini yang menjadi kritik dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. Padahal, anggota polisi itu diduga kuat menerima suap dan penggelapan dalam jabatan perkara narkotika.
Tak ada yang dapat dibanggakan dari sanksi etik tersebut, menurut LBH Jakarta. Alih-alih tegas, sanksi etik terhadap perilaku koruptif yang dilakukan secara berjamaah oleh Kapolres Bandara Soekarno-Hatta justru menunjukkan kemunafikan institusi Polri yang sedang gencar-gencarnya memperbaiki citra pasca-kasus pembunuhan berencana yang dilakukan Inspektur Jenderal Polisi Ferdy Sambo.
Atas hal-hal tersebut, LBH Jakarta mengecam proses etik terhadap Kapolres Bandara Soekarno-Hatta beserta bawahannya karena tidak dibarengi dengan proses pidana.
"Perbuatan yang jelas-jelas merupakan tindak pidana tersebut, tidak pantas hanya diganjar sanksi etik. Seharusnya, proses etik dan pidana dapat sekaligus," kata Ketua LBH Jakarta, Arif Maulana, melalui keterangan tertulisnya kepada Gatra, Jumat (2/9).
Dalam hemat Arif, seharusnya KPK yang melakukan pengusutan. Ini karena terdapat dugaan tindak pidana suap maupun penggelapan dalam jabatan sebagaimana diatur dalam UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Terlebih, pelaku merupakan penyelenggara negara dengan nilai korupsi di atas 1 miliar. Sehingga tidak ada alasan bagi KPK untuk tidak mengusut kasus ini.
Menurut Arif, sanksi etik tanpa proses pidana atau sebaliknya, atau bahkan tanpa sanksi sama sekali merupakan pola yang jamak untuk melanggengkan impunitas.
Berdasarkan catatan pendampingan dan pemantauan LBH Jakarta, ada 58 kasus penyiksaan yang pelakunya tidak dihukum secara pidana dan etik. Di antaranya, kasus yang melibatkan Irjen Napoleon Bonaparte, Mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri ini masih berstatus anggota Polri aktif dan belum dicopot dari jabatannya meskipun terbukti terlibat kasus suap red notice Djoko Tjandra.
Selain itu, ada dua terdakwa kasus penyerangan mantan penyidik KPK Novel Baswedan, Bripka Ronny Bugis dan Briptu Rahmat Kadir Mahulette telah dijatuhi vonis oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara, 16 Juli 2020.
"Keduanya diketahui masih menjadi polisi aktif, kasus penangkapan 1.489 orang dalam Pengamanan Aksi Demonstrasi september 2019 yang dilakukan secara melanggar hukum dan HAM seperti penggunaan kekerasan, pembatasan akses terhadap terduga pelaku, lambannya penanganan medis dan terbatasnya akses bantuan hukum," kata Arif.
Selain mengecam proses etik itu, LBH Jakarta menilai perilaku koruptif kepolisian hampir menjangkiti semua level dalam tubuh Polri, mulai yang berpangkat Jenderal seperti eks Kadivhubinter, Napoleon Bonaparte yang menerima suap miliaran, hingga bintara Satlantas Polres Bandara Soekarno-Hatta yang menerima pungli berupa sekarung bawang dari pengemudi truk pada 2021 lalu.
"Perilaku culas ini tentunya terus berulang karena tidak memadainya pengawasan dan mekanisme akuntabilitas Polri," ujarnya.
Dalam konteks yang lebih luas, Polri tetap saja tidak mengevaluasi dan mengoreksi apalagi mereformasi dirinya--meski sedang diterpa badai kasus Ferdy Sambo. Oleh karenanya, LBH Jakarta menyebut jika punlik mengaggap bahwa memang ada permasalahan serius di tubuh kepolisian RI baik secara instrumental, struktural, dan kultural, adalah hal yang valid.
Polri memang tidak bisa bergerak sendiri. Di sinilah peran pemerintah dan DPR, yang harus benar-benar serius dan aktif menanggapi permasalahan genting di tubuh Kepolisian RI dengan menuntaskan segera agenda reformasi kepolisian RI dengan membentuk tim percepatan.
"Jika tidak, kejahatan impunitas semacam ini akan terus berulang dan Pemerintah serta DPR akan dinilai publik mendiamkan atau menoleransi hal ini atau menjadi bagian dari masalah," tegas Arif.