Jakarta, Gatra.com – Ah Maftuchan, Direktur Eksekutif Prakarsa sekaligus Sherpa C20 Presidensi Indonesia 2022, menyambut baik pembentukan Financial Intermediary Fund (FIF) dalam Media Briefing bertajuk “Pelibatan Bermakna Masyarakat Sipil dalam Tata Kelola Dana Perantara Keuangan untuk Penguatan Kapasitas Pencegahan, Kesiapsiagaan dan Respon Pandemi” pada Kamis (01/09) melalui Zoom Meeting.
Ah Maftuchan, yang biasa disapa Maftu, memperkenalkan The PRAKARSA untuk membuka penyampaian materinya, yaitu lembaga masyarakat sipil yang berfokus pada produksi pengetahuan dan advokasi kebijakan untuk isu kebijakan sosial kebijakan fiskal dan kebijakan pembangunan berkelanjutan. Mengenai FIF ini, Maftu menyambut baik dengan berpendapat bahwa ini adalah inisiatif yang baik.
“Kami, Civil 20, memandang Presidensi G20 Indonesia apa akan bisa dikatakan berhasil atau sukses jika salah satu indikatornya, jika ada yang konkrit atau warisan yang konkrit, baru saya bisa. Nanti kita lihat dalam pembentukan Financial Intermediary Fund ini sebagian besar negara anggota G20 maupun negara yang terundang udah menyetujui pembentukan ini,” katanya.
“Tentu ini kabar yang sangat baik dan bisa menjadi modalitas bagi kita, organisasi masyarakat untuk melakukan advokasi pembentukan FIF ini. Berikutnya, di Civil 20, di organisasi masyarakat sipil, memandang bahwa ini ada perubahan kesadaran yang makin menguat di negara-negara dunia ini terkait dengan pentingnya penanganan atau antisipasi pandemi yang tidak bisa dilakukan oleh negara sendirian dan oleh negara secara sendiri-sendiri,” tambahnya.
Menurut Maftu, hal ini menunjukkan menguatnya pentingnya multilateralism di dalam penanganan pandemi. Ini menunjukkan pentingnya multi-stakeholder, pendekatan multi pihak, lalu kemudian ini juga menunjukkan pentingnya perbaikan tata kelola yang lebih berkelanjutan. Contoh inisiatifnya berupa persoalan tuberculosis.
Manfaat yang dirasakan lebih luas dan sifatnya berkelanjutan. Program FIF ini juga bisa lebih dipastikan karena ada kepemilikan dan sense of belonging dari berbagai pihak atau tidak hanya dimiliki oleh pemerintah saja tetapi masyarakat juga ikut memiliki.
“Nah di dalam konteks ini, maka kami memandang niat yang sudah baik ini. Pembentukan FIF untuk apa namanya prevention dan responses apa, demi ini itu juga harus di ditunjukkan dengan kelembagaan atau institusionalisasi yang baik. Kelembagaan yang baik itu menurut kami adalah pelembagaan yang multi pihak yang terbuka atau transparan yang diorientasikan untuk adanya keterwakilan berbagai apa namanya representasi di dalam masyarakat. Tidak hanya negara dan non negara dan organisasi masyarakat sipil, tapi juga nanti ada teman-temannya. Tidak hanya negara-negara menjadi anggota G20, tapi juga negara-negara tidak menjadi anggota G20. Tidak hanya negara-negara yang berasal kawasan Utara dari juga negara-negara berasal dari kawasan Selatan,” jelasnya.
Maftu yakin bahwa kalau FIF ini sebagai niat baik yang dikelola dalam konteks kelembagaan yang multipihak yang partisipatif, yang transparan, maka niat baik itu akan lebih berdampak baik bagi apa Penanganan pandemi saat ini maupun ke depan.
Selain itu, alasan Maftu mengusulkan keterlibatan organisasi masyarakat dalam pengelolaan Financial Intermediary Fund ini karena PRAKARSA memiliki bukti-bukti keterlibatan organisasi sehingga masyarakat sipil bisa meningkatkan efisiensi, akuntabilitas, Inovasi dan kepemilikan program ini sampai di level akar rumput atau di level komunitas.
“Efisiensi dengan adanya organisasi masyarakat sipil, di kita punya peluang untuk menjadikan dana yang ada itu dikelola secara lebih efisien. Dalam pengertian bahwa resource yang ada bagaimana didorong untuk yang diterima manfaatnya secara lebih luas dari yang biasanya ditargetkan oleh pemerintah,” jelasnya.
“Dan kita tahu, selama ini, organisasi masyarakat sipil punya tradisi. Dengan resource yang terbatas, bisa bekerja sama lebih optimal karena adanya prinsip-prinsip atau nilai-nilai apa namanya tradisi untuk pelayanan yang lebih baik kepada kepada komunitas yang lebih luas,” ujarnya.
Mengenai peluang adanya inovasi, Maftu mengetahui bahwa organisasi masyarakat sipil juga punya tradisi inovasi yang tinggi. Inovasi-inovasi yang sudah dimiliki oleh komunitas oleh organisasi masyarakat itu nanti bisa menjadi best practices bagi FIF untuk di scale-up
Meskipun begitu, organisasi masyarakat sipil tidak punya resource untuk scale-up. Sebuah Inovasi atau modelling atau approach yang itu terbukti efektif di level mikro karena keterbatasan resource dan itu bisa di scale-up sebagai model at the end.
Berkat adanya FIF, pendekatannya multipihak dan melibatkan peran serta organisasi masyarakat di dalam tata kelolanya. Hal ini tentu saja sepele, namun ini bisa menjadi modalitas bagi agar berjalan lebih efektif dan berdampak bagi penanganan pandemi.
Secara eksternal, keterlibatan organisasi masyarakat sipil dalam pengelolaan FIF juga bisa meningkatkan kepercayaan publik terhadap FIF, sehingga benar-benar bisa terhubung antara top approach policy dengan data atau praktiknya.
Maftu menerima informasi bahwa beberapa negara anggota G20 yang telah mendukung adanya representasi organisasi masyarakat sipil dalam tata kelola di FIF ini cukup banyak. “Saya dengar terakhir kemarin Australia mendukung, Kanada mendukung, Belanda juga mendukung lalu Amerika Serikat juga. Implisit mendukung meskipun secara formal belum statement lalu kemudian Jerman juga mendukung meskipun belum diclear itu,” ungkapnya.
Namun, ada 1 hingga 2 negara yang secara keras tidak mendukung keberadaan perwakilan organisasi masyarakat sipil di dalam FIF, dimana ini nanti akan menjadi tantangan bagi Maftu sekaligus tantangan bangsa Indonesia sebagai Presidensi G20
Mengenai adanya kontra dari FIF, Indonesia sendiri di dalam Informal Meeting tidak keberatan atas tujuan adanya representasi tata kelola FIF. Namun, sebagai presidensi atau tuan rumah, tentu saja Indonesia sedang dalam posisi menunggu dinamika yang berkembang.