Jakarta, Gatra.com - Kuasa Hukum Lin Che Wei (LCW) terdakwa kasus korupsi minyak goreng, Maqdir Ismail mempertanyakan kebenaran perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terkait kerugian negara yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) kepada kliennya mencapai Rp20 triliun. Ia menilai nilai tersebut tidak jelas perhitungannya.
Adapun dalam surat dakwaan, JPU mencantumkan hasil audit BPKP nomor: PE.03/SR-511/D5/01/2022 tanggal 18 Juli 2022 menyebutkan bahwa kerugian akibat korupsi terkait sawit dan krisis minyak goreng mencapai Rp20 triliun, meliputi kerugian negara mencapai Rp6 triliun, kerugian perekonomian negara atas penerbitan Persetujuan Ekspor (PE) CPO kepada swasta mencapai Rp12 triliun, dan pendapatan yang tidak sah (illegal gain) sekitar Rp2 triliun. Maqdir ragu, nilai tersebut terlalu fantastis untuk periode yang cenderung singkat.
"Ini angka kerugian yang sangat fantastis, tetapi bagaimana perhitungannya? Apakah dilakukan oleh lembaga yang berwenang?," ujar Maqdir usai hadiri persidangan perdana Lin Che Wei di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (31/8).
Dalam surat dakwaan, keuntungan yang didapat produsen Grup Musim Mas sebesar Rp626.630.516.604, Grup Permata Hijau sebesar Rp124.418.318.216, Grup Wilmar sebesar Rp1.693.219.882.064. Sehingga keuntungan total tiga produsen minyak goreng itu mencapai Rp2.444.286.716.885.
Maqdir menilai antara kerugian negara dan perekonomian negara dengan keuntungan pihak yang dianggap diuntungkan menjadi tidak sama dan tidak jelas.
"Seharusnya antara kerugian negara dan perekonomian negara harus sama besarnya dengan besarnya keuntungan yang diperoleh oleh pihak yang dianggap menguntungkan," jelas Maqdir.
Selain itu, Maqdir pun menyoroti dakwaan keuntungan ilegal yang dituduhkan kepada kliennya. Menurut dia, selama ini perdagangan CPO justru memberikan keuntungan bagi negara melalui pengenaan pajak ekspor. "Tapi ini perdagangan yang sah, yang negara mendapatkan sejumlah pajak dan cukup besar, yang saya kira hampir 60 persen dari transaksi mengenai CPO itu diterima negara. Itu salah satu yang jadi alasan kami meminta laporan BPKP," tandas Maqdir.
Adapun dalam persidangan hari ini, JPU memaparkan bahwa kerugian negara sebesar Rp6 triliun tersebut merupakan dampak langsung dari tindakan hukum menyalahgunakan fasilitas persetujuan ekspor CPO dan turunannya yang dilakukan LCW dan terdakwa lainnya.
Menurut JPU, akibat upaya memanipulasi pemenuhan domestik market obligation (DMO) maupun domestic price obligation (DPO) oleh terdakwa menyebabkan negara terpaksa harus mengeluarkan dana bantuan langsung tunai (BLT) minyak goreng untuk mengurangi beban masyarakat sebagai konsumen minyak goreng.
"Kerugian keuangan negara tersebut mencakup beban yang terpaksa ditanggung pemerintah dalam bentuk penyaluran BLT Tambahan, khususnya minyak goreng untuk meminimalisasi beban 20,5 juta rumah tangga tidak mampu akibat kelangkaan minyak goreng," sebut Jaksa Penuntut Umum dalam persidangan hari ini di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.