Jakarta, Gatra.com - Proses penyidikan terhadap kasus pembunuhan Brigadir J terus bergulir. Penetapan Ferdy Sambo sebagai tersangka membuat kasus ini semakin terbuka. Banyaknya keterlibatan polisi yang mendapat perintah FS, serta maraknya isu yang beredar, membuat perhatian dari berbagai pihak untuk mengawal kasus ini.
Ketua Umum DPN PERADI, Otto Hasibuan, menjelaskan bahwa kondisi masyarakat Indonesia saat ini berada dalam situasi terjebak.
"Kita sudah sampai pada kesimpulan padahal perkara belum dimulai. Bisakah Ferdy Sambo bebas? Bisa, kalau tidak terbukti. Tidak bisa kalau terbukti," katanya pada diskusi bertajuk "Bisakah Ferdy Sambo Bebas?" di Jakarta, Selasa (30/8).
Otto juga menjelaskan bahwa situasi bisa berubah. Fakta yang disampaikan hari ini, bisa berbeda dengan fakta yang disebutkan kemarin. Ia mengatakan bahwa tidak menutup kemungkinan terjadi skenario lain.
Sebagai pengingat, pada awal kasus berkembang, narasi yang beredar adalah aksi tembak-menembak padahal yang kemudian terbukti adalah adanya aksi penembakan.
Dalam pemaparannya, Otto menyebutkan bahwa asas praduga tak bersalah tidak berlaku pada kasus ini. Meskipun proses penyidikan belum selesai, namun fokus untuk menjatuhkan FS begitu kuat. Ia mengingatkan untuk tetap berfokus pada proses hukum hingga sampai ke meja pengadilan yang akan membuktikannya.
"Jangan mendahului pengadilan. Jangan dulu menyimpulkan. Kita tunggu hasil pengadilan. Saya ikut berduka atas kematian Brigadir J, namun proses hukum jangan sampai rusak," ujarnya.
Otto turut menyinggung soal motif. Ia menjelaskan ada dua sudut pandang mengenai ini. Pertama, anggapan bahwa motif tidak perlu dibuktikan karena perbuatan sudah dilakukan. Kedua, motif berperan penting dalam pembuktian pembunuhan berencana karena sesuatu yang sudah direncanakan pasti memiliki alasan. Ini perlu dikaji lebih jauh, terutama dalam kasus ini di mana FS tidak pernah memberi pernyataan secara langsung apa yang sesungguhnya terjadi saat itu.
Pada penetapan Bharada E sebagai Justice Collaborator (JC), Otto menegaskan jangan sampai meniadakan sifat tidak dapat dihukum atau status tersangkanya dihapus. Berdasarkan Pasal 50 KUHP, orang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang, tidak boleh dipidana. Pasal 51 ayat 1 melanjutkan penjelasan bahwa orang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak boleh dipidana.
Pasal 51 ayat 2 kemudian menerangkan bahwa perintah jabatan tanpa wewenang tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah mengira dengan itikad baik bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.
Aturan tersebut harus menjadi salah satu acuan dalam kasus FS. Sebagai mantan Kadiv Propam, FS tidak memiliki kewenangan untuk memberi perintah penembakan. Ini artinya penembakan yang dilakukan Bharada E tidak terkait status jabatan melainkan karena adanya ancaman dan intimidasi.
Lebih jauh, Otto menekankan untuk melihat adanya kepentingan umum dalam kasus ini. Jenis keadilan ada banyak bentuknya, namun jangan sampai penggiringan bahwa FS sudah pasti akan dihukum mati dan Bharada E bisa dibebaskan menjadi kebenaran mutlak yang diperjuangkan.
Perlu adanya keseimbangan dalam mewujudkan keadilan, dan di situlah nanti hakim akan berperan.
"Kita harus melihat secara objektif kasus ini. Yang paling penting adalah bagaimana yang sebenarnya terjadi, biarlah dia dihukum sesuai perilakunya," ucapnya.