Jakarta, Gatra.com - Direktur dan Senior Advisor Sustainability PT. SMART Tbk, Agus Purnomo menyebut beberapa faktor penyebab pertumbuhan produk kelapa sawit berkelanjutan cenderung lambat. Faktor tersebut yaitu share responsibility dan permintaan masih rendah.
Agus menjelaskan, bahwa selama ini sertifikasi sawit berkelanjutan hanya dibebankan kepada petani saja. Dia menilai sikap gotong royong dalam standarisasi sawit berkelanjutan antar pelaku usaha sawit masih rendah. Petani kecil cenderung sulit mengakses sertifikasi produknya.
"Kalau kita melihat adanya berbagai sertifikasi dan standar yang tinggi yang diminta oleh konsumen, itu beban pengelolaannya ditanggung seluruhnya oleh para petani, baik itu petani rakyat maupun perusahaan perkebunan sawit," ungkap Agus dalam Diskusi Interaktif Kelapa Sawit Berkelanjutan di Jakarta, Senin (29/8).
Agus menyebut, kontribusi konsumen maupun pedagang produk sawit dan turunannya sangat minim dalam standarisasi kelapa sawit yang berkelanjutan. Hal itu, membuat perkembangan sawit berkelanjutan menjadi lebih lambat.
Di sisi lain, Agus melanjutkan, kondisi pasar terkait permintaan terhadap produk sawit bersertifikat berkelanjutan juga masih rendah.
Agus menyebut, standar ramah lingkungan sekelas Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) saja diketahui baru mensertifikasi sekitar 19 persen dari seluruh produk kelapa sawit di dunia.
"80 persen produk sawit di dunia itu tidak punya sertifikat keberlanjutan," sebutnya.
Adapun pasar yang benar-benar menerapkan standar keberlanjutan, kata Agus, hanya negara-negara di Eropa seperti Belanda, Spanyol dan Italia. Sementara, pasar ekspor terbesar CPO RI yaitu India, Cina dan Pakistan masih belum mengarah pada standarisasi produk sawit berkelanjutan.
"Karena itu, saya mendukung bahwa green consumer itu penting untuk kelapa sawit berkelanjutan. Kalau orang mau barang bagus tapi harganya murah, ya susah," tutur Agus.
Bahkan, negara maju seperti Jepang dan Amerika Serikat (AS) saja menurut Agus belum sepenuhnya menerapkan standar lingkungan yang tinggi pada produk sawit.
"AS dan Jepang itu masih ngobrol-ngobrol, dan ada beberapa produk sawit yang mereka sudah minta bersertifikat tetapi produk lain nggak pernah minta," ungkap Agus.
Agus menambahkan, dari sisi perdagangan sawit agar berkelanjutan, faktor traceability menjadi salah satu solusi. Namun, penerapan di lapangan dinilai masih sulit.
"Traceability penting namun pada sawit memang cenderung sulit. Di dalam prosesnya sangat panjang," imbuhnya.
Indonesia menjadi penghasil minyak sawit atau crude palm oil (CPO) terbesar di dunia. Menyumbang sekitar 60 persen pasar sawit dunia dengan produksi lebih dari 50 juta ton setiap tahunnya. Data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mencatat, total produksi minyak sawit Indonesia tahun 2021 mencapai 51,30 juta ton
Kendati demikian, industri kelapa sawit sering dikaitkan dengan kerusakan lingkungan seperti deforestasi dan penyumbang emisi karbon. Kampanye hitam dan sentimen negatif terhadap produk CPO yang tidak ramah lingkungan kerap menjadi kendala produk sawit Indonesia bersaing di pasar global, terutama negara-negara maju yang menerapkan standar tinggi atas produk ramah lingkungan seperti Eropa. Karena itu, standarisasi kelapa sawit berkelanjutan menjadi salah satu reformasi industri sawit di Indonesia untuk bisa berkompetisi di pasar global.