Jakarta, Gatra.com - Nurul Amalia dari Perludem (Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi) memaparkan, kontruksi pengaturan hukum yang saat ini mengenai seorang mantan narapidana kasus korupsi menjadi calon legistatif di Pemilu dalam diskusi media “Mantan Terpidana Korupsi Boleh Nyaleg?” pada Senin (29/08) melalui Zoom Meeting and Live Streaming YouTube.
“Jadi ini saya mulai dengan merujuk kembali kepada Tujuan Pemilu. Kami di Perludem yang merupakan bagian dari Sekretariat Bersama Kodifikasi Undang-undang Pemilu melihat tujuan Pemilu itu dari dua sisi. Dari proses dan juga dari hasil Pemilu,” kata Amel panggilan akrab Nurul Amalia.
Dari segi hasil Pemilu, tujuan Pemilu merupakan meningkatkan partisipasi dan kontrol pemilih terhadap calon pemilih, menciptakan sistem pemerintahan presidensial yang elektif, menyederhanakan sistem kepartaian di DPR dan DPD, memperkuat dan mendemokrasikan partai politik dan mendorong tata kelola pemerintahan yang baik atau good governance.
“Ketika partai politik masih mencalonkan kadernya yang pernah melakukan korupsi, pastinya ini menjadi pertanyaan. Apakah memang partai politik ikut Pemilu tapi enggak punya niat untuk membangun tata kelola pemerintahan yang baik. Itu ada partai yang bahkan menjawab, ‘ya dia kan hanya terseret sedikit gitu’. Padahal sedikit atau banyak, korupsi sama-sama merupakan wujud dari integritas individu yang buruk. Jadi ketika partai mencalonkan mantan koruptor, kita perlu waspada,” lanjutnya.
Terdapat tiga dasar hukum yang melandasi bahwa mantan terpidana tidak diperbolehkan menjadi caleg, antara lain Pasal 7 ayat (2) huruf G UU Pilkada No. 1/2016, Pasal 182 Huruf G UU Pemilu No.7/2017 dan Pasal 249 ayat (1) UU Pemilu No.7/2017 serta Putusan MK No.56/PUU-XVII/2019 sebagai ancaman hukuman.
Amel mengacu pada putusan MK dalam Putusan nomor 56 tahun 2019 juga nomor 14 sampai nomor 17 tahun 2007. Disebutkan, rakyat pemilih yang akan memikul segala resiko dari orang-orang yang maju di Pemilu dan Pilkada. Nah, membiarkan mantan koruptor berkompetisi di Pemilu tentunya membuka kerentanan baru bagi pemilih terhadap kepemimpinan yang tidak etis atau unethical leadership.
"Disamping pemilih memang sudah, menanggung beban Pemilu serentak lima kotak itu, dengan harus mengenali latar belakang begitu banyak calon di dapil mereka, presiden, anggota DPD, anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, di satu tahun yang sama, dan dituntut juga untuk bijak memilih calon kepala daerah dan wakil kepala daerah,” jelas Amel.
Dalam situasi ini, tentunya informasi mengenai calon, harus betul-betul tersedia secara memadai dan mudah untuk di akses. Jika tidak, pemilih tentu tidak akan dapat memilih secara rasional karena informasi yang dia dapatkan sebagai dasar untuk menentukan pilihan ternyata terbatas.
Sebagai rekomendasi, KPU mengatur pencalonan anggota legislatif terkait masa jeda 5 tahun bagi mantan koruptor yang ingin menjadi caleg di PKPU. Selanjutnya, KPU, stasiun TV, media massa dan platform media sosial mengumumkan kepada pemilih nama calon mantan koruptor. Terakhir, KPU memajang nama dan foto caleg mantan koruptor beserta informasi yang bersangkutan lakukan.