Jombang, Gatra.com – Museum Islam Indonesia KH. Hasyim As’ary berjarak 6,7 kilometer ke arah selatan dari alun-alun Jombang. Tempat penyimpanan benda bersejarah tersebut masih termasuk dalam lingkungan atau area Pesantren Tebuireng. Jarak pondok tersebut ke museum kurang lebih hanya 500 meter ke arah selatan.
Museum yang disamakan dengan nama pendiri Nahdlatul Ulama itu berseberangan dengan kampus Universitas Hasyim Asy’ari. Saat mengunjungi museum di hari kerja, jangan terlalu terganggu dengan mahasiswa yang lalu lalang untuk menuju kelas-kelas perkuliahan.
Secara geografis, museum yang bangunannya berbentuk piramida itu berada di Desa Kwaron, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang. Dari alun-alun, dengan jarak yang sudah disebutkan, hanya butuh waktu kurang dari 20 menit menggunakan mobil untuk sampai ke museum.
Diresmikan Presiden RI Joko Widodo pada akhir tahun 2018, museum ini berdiri di atas tanah berukuran 4,9 hektar. Pembangunannya diinisiasi Solahudin Wahid atau yang dikenal sebagai Gus Solah, adik dari Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.
Museum mulai dibangung pada 2014 atas kerja sama Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Pemerintah Kabupaten Jombang, dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur, dan Pesantren Tebuireng. Dalam tahap pembangunannya, pembebasan lahan menjadi tanggung jawab Pemkab Jombang sedang pengerjaannya didanai APBD Provinsi Jatim dan APBN sebesar Rp. 30 miliar rupiah.
Pada bagian depan dibangun Monumen At-tauhid yang diisi dengan tulisan 99 asmaul husna atau 99 nama-nama mulia Allah. Museum Islam Nasional KH. Hasyim Asy’ari (MINHA) terdiri dari tiga lantai yang setiap ruangnya menjadi kawasan transformasi pengetahuan sejarah Islam. Namun, terakhir kunjungan pada Rabu (24/08), lalu hanya lantai pertama saja yang dibuka untuk umum.
Pada lantai pertama terdapat ruangan yang dipenuhi kisah dan koleksi pribadi peninggalan KH. Hasyim Asy’ari. Ruangan tersebut disinari lampu kuning yang khas menambah nuansa kuno dalam ruangan. Beberapa koleksi yang dipamerkan dalam museum itu meliputi kitab-kitab, perabot rumah, serta tongkat KH. Hasyim Asy’ari yang terkenal dengan karomahnya.
Beranjak dari ruangan koleksi peninggalan KH. Hasyim As’ari, terdapat ruangan aula tengah dan yang paling luas di lantai pertama. Temboknya dipenuhi tulisan dan gambar yang menerangkan terkait bagaimana Islam berkembang di semua provinsi di Indonesia.
Di tengah-tengah ruangan besar itu, terpajang berbagai koleksi temuan arkeologi peninggalan Islam di Indonesia yang juga di-display berdasarkan daerah temuan atau asal masing-maisng. Salah satunya adalah batu nisan Fatimah binti Maimun, yang makamnya ditetapkan sebagai makam Islam tertua di Asia Tenggara dan replika nisan Syaikh Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik.
Selain menjelaskan asal mula Islam di suatu daerah, dalam dinding-dinding tersebut juga mencantumkan keterangan terkait ritual kebudayaan yang berakar dari agama Islam. Sebagai contoh, ada ritual Grebeg Besar yang dijelaskan sebagai suatu budaya seremonial dalam rangka mensyukuri datangnya hari raya kurban atau Idul Adha.
Pembangunan MINHA merupakan sebuah upaya untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terkait sejarah perjuangan, pemikiran, dan karya para tokoh Islam di Indonesia dalam merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan. Selain itu, museum ini juga dibangun untuk penguatan pendidikan karakter melalui berbagai informasi dan koleksi yang disajikan tentang kiprah perjuangan tokoh-tokoh dan karakteristik Islam di Indonesia.
Museum ini juga bisa menjadi destinasi wisata yang “beli satu dapat dua”. Karena letak MINHA tidak jauh dari makam Presiden RI ke-4, Abdurrahman Wahid. Hal itu bisa menjadi alternatif bagi siapapun yang ingin berziarah ke makam Gus Dur atau mengunjungi MINHA.
Waktu aktif berkunjung museum ini adalah dari pagi pukul 08:00 hingga sore setelah Ashar pukul 15:30. Karena lokasi strategis yang berada di lingkungan Pesantren Tebuireng, MINHA tentu mudah diakses dari tengah kota baik menggunakan kendaraan umum atau transportasi berbasis daring.