Home Nasional Perintah, Komando, Kultur Atasan Bawahan, Bumerang bagi Institusi Polri

Perintah, Komando, Kultur Atasan Bawahan, Bumerang bagi Institusi Polri

Jakarta, Gatra.com – Kasus pembunuhan terhadap Brigadir Yosua Hutabarat atau Brigadir J berbuntut panjang. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengatakan, terdapat 97 personel Polri diperiksa atas kasus tersebut. Dari jumlah tersebut, 35 orang di antaranya diduga melanggar kode etik. Selanjutnya, 18 orang yang diduga melanggar ditempatkan di penempatan khusus.

“Kami telah memeriksa 97 personel, 35 orang diduga melakukan pelanggaran kode etik profesi,” kata Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam keterangannya di rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi III DPR di Senayan, Jakarta, pada Rabu, 24 Agustus 2022.

Listyo mengungkap fakta, terdapat delapan dugaan pelanggaran kode etik profesi yang dilakukan personel Polri atas kasus yang melibatkan mantan Kadiv Propam Polri Inspektur Jenderal Ferdy Sambo tersebut.

Selain Ferdy Sambo, perwira tinggi (pati) Polri lainnya yang disebut terseret dalam kasus dan mendapatkan sanksi etik di antaranya mantan Kepala Biro Pengamanan Internal (Karo Paminal) Polri Brigadir Jenderal Hendra Kurniawan dan mantan Kepala Biro Provos Brigadir Jenderal Benny Ali. Ketiganya dicopot Kapolri dan ditempatkan di bagian Pelayanan Markas (Yanma) Polri.

Selain itu, mantan Kapolres Jakarta Selatan Komisaris Besar Polisi Budhi Herdi Susianto juga dicopot dari jabatannya karena diduga tidak profesional menangani kasus pembunuhan berencana Brigadir J. Banyaknya personel Polri yang terseret kasus Brigadir J menimbulkan pertanyaan banyak pihak menyangkut profesionalitas, kredibilitas, dan dedikasi.

Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) Soleman B. Ponto menyebut, kultur menjalani perintah atasan atau komando masih melekat di tubuh kepolisian. Sehingga, ada keengganan bagi seorang bawahan menolak perintah atasan meski perintah itu bertentangan dengan hukum. Hal tersebut salah satunya terlihat dengan penembakan yang dilakukan Bharada Richard Eliezer atau Barada E yang diduga dilakukan atas perintah Irjen Ferdy Sambo.

“Karena ada kultur atasan dan bawahan. Harusnya enggak boleh begitu, dia harus lihat sesuai aturan enggak, kalau enggak sesuai aturan dia boleh melawan [perintah] atasan. Makanya dengan kasus Sambo ini banyak yang bisa kita buat, tapi harus ada kritik dan tekanan dari masyarakat sipil,” kata Soleman B. Ponto kepada Gatra.com.

Ponto berpandangan, budaya atasan bawahan harus diubah di institusi kepolisian. Budaya hormat kepada pejabat yang pangkatnya lebih tinggi tetap diberlakukan, tetapi tidak dalam bentuk norma militer. “Ke depan, kita harus mendidik polisi yang bukan kultur militer. Dari mana kultur militer? Kultur militer itu ada atasan dan bawahan. Di militer, atasan dan bawahan itu diatur dengan UU disiplin tentara. Nah, ketika [TNI-Polri] berpisah langsung dibuat peraturan pemerintah tentang disiplin Polri,” ujarnya.

Bila militer atau TNI merujuk pada UU Nomor 25 Tahun 2014 tentang hukum disiplin militer, maka Polri mengacu pada PP Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara RI. Meski demikian, kedua norma tersebut menurut Ponto tidak jauh berbeda. Sesuai UU, hukuman disiplin militer adalah hukuman yang dijatuhkan oleh atasan yang berhak menghukum (Ankum) kepada bawahan yang berada di bawah wewenang komandonya karena melakukan pelanggaran Hukum Disiplin Militer.

Sementara merujuk PP, hukuman disiplin adalah hukuman yang dijatuhkan oleh atasan yang berhak menghukum kepada anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia melalui Sidang Disiplin. “Makanya jadilah Polri yang seperti tentara, seharusnya kalau sipil bukan atasan yang berhak menghukum, yang ada adalah pejabat yang berhak menghukum. Itu ada aturannya tentang disiplin sipil. Polisi bilang ada disiplin Polri tapi isinya yang mencopot Ankum, yang [hukum] militer dipindah ke sana. Sehingga jadilah polisi dengan atribut militer, yang tidak dikenal di organisasi sipil,” Ponto menjelaskan.

Karena itu, ia menyarankan agar Peraturan Disiplin Anggota Polri diubah dan disempurnakan agar institusi kepolisian tidak bertindak persis seperti militer. “Jadi, harus diubah dulu disiplinnya di PP Nomor 2 Tahun 2003. Karena itulah yang membuat polisi jadi sama dengan militer. Kalau di sipil tidak ada atasan dan bawahan, yang ada hanya pejabat yang diberi kewenangan,” katanya.

Ponto menyebut, sidang etik yang dijalani Ferdy Sambo tidak berdampak pada hukum pidana. Menurutnya, sidang etik hanya dibutuhkan institusi Polri dalam rangka menjalankan Peraturan Disiplin Anggota Polri. Karena itu, kasus hukum mantan Kadiv Propam itu tidak akan berhenti di tatanan etik.

“Sidang etika itu mau buat apa, wong dia sudah terpenuhi pidana. Yang tertinggi itu [sanksi hukum] pidana. Karena kamu sudah dipidana, maka kamu diberhentikan tidak dengan hormat. Ya sudah selesai, tidak didiskusikan lagi,” pungkasnya.

443