Batanghari, Gatra.com - Istana Raja Melayu Dharmasraya Srimad Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa dikagetkan dengan kedatangan sejumlah perwira Ekspedisi Pamalayu. Kabar yang berhembus bahwa armada siap tempur dari Jawa telah mendarat di pinggiran Sungai Batanghari. Mereka diutus oleh Raja Singhasari Sri Kertanegara untuk meminta kesediaan Dharmasraya menjadi negeri bawahan Singhasari.
Drama Kolosal Dara Petak dan Dara Jingga jadi penutup di Festival Pamalayu, etape pertama Ekpedisi Sungai Batanghari dalam rangkaian Kenduri Swarnabhumi yang diselenggarakan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) bersama seluruh Pemerintah Daerah di Daerah Aliran Sungai Batanghari.
Drama tersebut digelar di Kompleks Candi Pulau Sawah dengan puluhan pemeran dari Sanggar Seni lokal Dharmasraya. Sanggar Dara Petak, Sanggar Dara Jingga, Sanggar Timbulun Indah, Sumaran Rumah Panjang, Kajanglako, Gadih Lareh, dan Sanggar Seni Sarai Sarumpun serta beberapa sanggar seni lainnya di bawah besutan sutradara Rama Suprapto.
Drama dibuka dengan penjelasan latar belakang kisah Dara Jingga dan Dara Petak yang terjadi pada abad ke 11 masehi. Saat itu Raja dari negeri Singhasari di Jawa, Sri Kertanegara Wikramatunggadewa mengirim sebuah ekspedisi kewibawaan militer bernama Ekspedisi Pamalayu. Tujuannya untuk mengajak negeri-negeri di Sumatera bersatu bersama (Sakawat-Bhumi) Singhasari.
Ekspedisi pun sampai di Kerajaan Melayu Dharmasraya. Diawali dengan misi diplomatik untuk meminta kesetiaan Dharmasraya secara baik-baik tanpa pertumpahan darah. Dalam narasi permulaan pentas tersebut, dijelaskan betapa rakyat Dharmasraya heboh mendengar kedatangan tamu rombongan dari Jawa.
Utusan Singhasari datang ketika Dara Petak dan Dara Jingga sedang berkumpul dengan ayahanda mereka Srimad Tribhuwanaraja dalam balairung Istana Dharmasraya. Kedua putri menari dengan balutan gaun merah dan gaun emas.
Utusan itu membacakan surat dari Sri Kertanegara. Sebagai tanda ikatan antara Singhasari, Sri Kertanegara memberikan sejumlah hadiah, salah satunya adalah Arca Amoghapasa.
Melihat ketulusan rombongan Singhasari, Raja Srimad Tribhuwanaraja mengutus kedua putrinya untuk ikut rombongan Singhasari ke Jawa dan dinikahkan dengan Sri Kertanegara sebagai balasan ketulusan dari Kerajaan Dharmasraya.
Meskipun dengan berat hati, Dara Petak dan Dara Jingga ikhlas menerima pernikahan tersebut demi tegaknya perdamaian dan persatuan antara negeri-negeri di Sumatera dan Jawa.
Pemeran Dara Petak, Tiara Felany mengaku pertunjukkan ini adalah yang pertama baginya. Karena di dalamnya melibatkan drama dan dialog.
“Sebelumnya kami hanya menari dan menari saja,” jelasnya.
Tiara mengatakan, ia dan kawan-kawannya hanya menghabiskan waktu latihan yang relatif singkat. Hanya enam hari saja.
Drama kolosal ini merupakan tantangan tersendiri karena dalam waktu yang singkat harus bisa memerankan berbagai karakter sambil menghafalkan posisi dan gerakan tari.
Tentang perannya, Tiara mengatakan dua puteri ini memiliki sifat yang berbeda. Dara jingga yang lebih tua, lebih dewasa, lebih tegas, dan lebih anggun. Sementara Dara petak lebih ceria, semangat dan sedikit tomboy.
Drama Dara Petak Dara Jingga menjadi salah satu pentas budaya yang ditampilkan Kabupaten Dharmasraya. Pertunjukan drama ini tak lain sebagai penghibur sekaligus pengingat bagi masyarakat akan salah saty sejarah yang menggambarkan kebesaran perab Sungai Batanghari dalam akulturasi kebudayaan.
Festival Pamalayu di Dharmasraya sendiri menjadi titik awal keberangkatan tim Ekspedisi Batanghari yang terdiri dari tim Kemendikbudristek, arkeolog, sejarawan, seniman, jurnalis, mahasiswa dan tokoh masyarakat.
Dirjen Kebudayaan Kemendikbudristek, Hilmar Farid mengungkapkan bahwa pelaksanaan Ekspedisi Batanghari kali ini akan menitikberatkan pada perkenalan dan penyebarluasan budaya daerah yang dilalui aliran Sungai Batanghari dengan berbagai festival. Selain drama kolosal, rangkaian kegiatan kebudayaan yang diberi tajuk Festival Pamalayu Kenduri Swarnabhumi, di antaranya adalah pemecahan rekor MURI memasak makanan dari 18 Kabupaten/Kota selama acara berlangsung, pameran artefak koleksi museum Adityawarman, sejumlah lomba, dan seminar.