Jakarta, Gatra.com - Wakil Ketua MPR RI dan Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani menegaskan perlunya penguatan wewenang dan kelembagaan Komisi Yudisial. Penguatan tersebut tentunya hanya dapat MPR lakukan melalui amandemen UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Arsul pun mengaku bahwa pihaknya mendapatkan rekomendasi dari MPR periode 2014-2019 untuk melakukan penataan kembali kelembagaan hukum yang terkait dengan peradilan di Indonesia. Hal tersebut mencakupi konteks rekrutmen, pembinaan, maupun pengawasan hakim.
“Kami di MPR, ada pikiran bersama untuk melakukan penguatan Komisi Yudisial, dalam rangka, tentu, membantu dan bersinergi dengan Mahkamah Agung. Nah, cuma kalau MPR ini apa caranya? Caranya ya harus dengan amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” ujar Arsul dalam Seminar "Penguatan Peran Komisi Yudisial dalam Menjaga dan Menegakkan Kehormatan, Keluhuran Martabat, dan Perilaku Hakim", Rabu (24/8).
Arsul pun mengaku diskusi internal yang terjadi di MPR terkait penguatan tersebut telah berlangsung lebih jauh. MPR, aku Arsul, memiliki gagasan untuk menempatkan Komisi Yudisial sebagai komisi yang berwenang untuk mengawasi seluruh aparatur penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.
“Lembaga negara itu harusnya lebih tinggi lah kelihatan kewenangannya,” ujar Arsul dalam acara yang yang merupakan rangkaian acara Hari Ulang Tahun Komisi Yudisial ke-17 tersebut.
Sementara itu, kewenangan pengawasan terhadap hakim konstitusi tidak dapat dilakukan karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945, dan menyebabkan kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga peradilan tidak dapat mewujudkan sifat independensi dan imparsialitasnya.
Selain melalui amandemen UUD 1945, Arsul mengatakan bahwa penguatan tersebut dapat dilakukan melalui pembentukan peraturan perundang-undangan. Ia memandang, setidaknya penguatan Komisi Yudisial secara legislasi dapat dilakukan melalui dua pintu.
Kedua pintu itu perlunya Rancangan Undang-Undang (RUU) perubahan kedua atas Undang-Undang Komisi Yudisial, dan RUU mengenai jabatan hakim. Adapun muatan revisi Undang-Undang Komisi Yudisial tersebut mecakupi penguatan wewenang, pengawasan hakim konstitusi, penjatuhan sanksi, dan pemanggilan.
Tak hanya itu, Arsul Sani juga menyinggung perihal revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi lagi di kemudian hari. Arsul mengaku, pihaknya ingin mengembalikan undang-undang tersebut kepada Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang lama.
Pasalnya, Arsul memandang revisi tersebut tidak membuat Mahkamah Konstitusi itu sendiri menjadi tertib konstitusi. Padahal, MK bernotabene sebagai penjaga konstitusi.
“Kalau MK itu negarawan, bagi saya, harusnya dia sama standarnya (dengan) ketika dia menguji formil Undang-Undang Cipta Kerja. Tapi kan ‘enggak, gitu loh. Begitu itu menguntungkan para yang mulia hakim MK sendiri, nah itu ditolak uji formilnya. Gitu kan? Itu masalahnya,” ujar Arsul ketika ditemui di Gedung Komisi Yudisial, Jakarta, Rabu (24/8) pasca pemaparannya dalam seminar tadi.
Arsul mengatakan, hal itu membuat MK seolah memiliki posisi yang sama dengan DPR yang notabene-nya adalah lembaga politik. Padahal, kata Sani, hal tersebut tidak boleh dilakukan oleh badan selain DPR. Terlebih, mengingat eksistensi MK sebagai lembaga hukum.
“Kalau DPR lembaga politik, yang lain ini lembaga hukum. Harus firm (tegas), gitu loh. Harus kenegarawanan,” tukas Arsul.