Jakarta, Gatra.com – Serangan siber semakin marak terjadi dalam beberapa waktu terakhir. Ironisnya, serangan tersebut tak hanya menargetkan sejumlah sektor industri di Indonesia saja, bahkan tak sedikit pula instansi pemerintah yang turut menjadi korban kejahatan siber.
Salah satunya adalah Bank Indonesia, yang pada Januari 2022 lalu mengalami kebocoran data, dengan total data yang diambil mencapai 44 GB per 22 Januari 2022 lalu. Tak hanya itu, personal computer (PC) internal yang disusupi peretas saat itu mencapai 175 PC pada hari yang sama.
Tak hanya itu, kebocoran data juga sempat menimpa Bank Jatim pada bulan yang sama. Saat itu, bank tersebut diduga mengalami kebocoran 3,5 juta data set milik nasabah, yang kemudian dikonfirmasi sebagai server penunjang. Kebocoran tersebut diperkirakan terjadi akibat serangan pada sistem komputer utama di salah satu instansi pemerintah.
Mengenai fenomena tersebut, CEO PT Dewaweb, Edy Budiman memandang pemerintah perlu memperbanyak tenaga-tenaga yang kompeten, demi meningkatkan keamanan siber pada jaringan maupun aplikasi pemerintah. Terlebih, pemerintah memiliki banyak situs yang harus mereka operasikan.
“Saya gak bisa bayangin sih, memang situs pemerintah kan banyak ya. Perlu banyak tenaga yang kompeten, perlu banyak pelatihan-pelatihan cyber security yang lebih banyak. Nah itu bisa membantu sih, dan mungkin juga melibatkan sektor swasta ya,” jelas Edy dalam acara peluncuran layanan keamanan siber Dewaguard di Jakarta, pada Selasa (23/8).
Edy pun menggarisbawahi bagaimana kompetensi tadi dapat ditumbuhkan lewat pelatihan maupun kerja sama dengan pihak swasta. Hal itu ia percayai mampu membantu meningkatkan kesadaran masyarakat terkait pentingnya keamanan siber.
Sebagaimana kesadaran sendiri Edy pandang sebagai suatu hal fundamental untuk mencegah terjadinya serangan siber. “Sehingga awareness ini makin terbentuk, makin banyak tenaga kompeten di bidang cyber security di Indonesia, yang akhirnya bisa melindungi website-website kita dengan lebih baik,” jelas Edy.
Lebih lanjut, ia menyinggung potensi para peretas untuk meminta uang tebusan untuk “membayar” data-data yang telah diretas dan dicuri. Terkait itu, ia pun menyarankan perusahaan pemilik data untuk melihat dan menimbang terlebih dahulu seberapa penting data yang dicuri itu, sebelum memberikan para peretas uang tebusan.
Edy pun mencontohkan, bagaimana sejumlah negara di luar negeri biasanya memiliki negosiator ahli untuk melakukan kegiatan tawar-menawar dengan pihak peretas, apabila terjadi permintaan uang tebusan dalam suatu fenomena peretasan.