Home Ekonomi BBM Bakal Naik, Ekonom Pertanyakan Subsidi Rp502,4 T, Terindikasi Menyalahi UU Keuangan Negara

BBM Bakal Naik, Ekonom Pertanyakan Subsidi Rp502,4 T, Terindikasi Menyalahi UU Keuangan Negara

Jakarta, Gatra.com- Pemerintah mengklaim beban defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) tahun 2022 terlalu besar akibat subsidi energi yang membengkak hingga Rp502,4 triliun. Hal itu santer menjadi alasan pemerintah untuk mempertimbangkan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi seperti Pertalite dan Solar.

Ekonom senior Faisal Basri, mempertanyakan angka subsidi Rp502,4 triliun tersebut. Menurut dia Rp502,4 triliun itu bukan sepenuhnya untuk subsidi BBM.

Ia menjelaskan, dalam APBN 2022, alokasi subsidi BBM hanya sebesar Rp14,6 trilun. Adapun jenis yang disubsidi dalam APBN yaitu solar dan minyak tanah.

"Dari mana subsidi Rp502,4 triliun ini? Saya baca berulang kali APBN dan RAPBN itu tidak ketemu angkanya. Yang ada cuma subsidi BBM sebesar Rp14,6 triliun," ungkap Faisal Basri dalam Indonesia Leaders Talk secara virtual, Jumat (19/8).

Dia menekankan, bahwa selama ini harga pertalite dan pertamax yang beredar di bawah harga keekonomian bukanlah subsidi, melainkan kompensasi. Pemerintah memaksa Pertamina untuk menjual pertalite dan pertamax lebih rendah dari biaya produksi meski tidak tertulis secara resmi sebagai subsidi di dalam APBN. Begitupun juga tarif listrik PLN.

"Jadi pertalite dan pertamax itu tidak resmi disubsidi. Nah, kerugian yang diderita Pertamina dan PLN ini dimasukkan dalam kompensasi yang tidak ada di dalam APBN itu," jelasnya.

Faisal pun berharap agar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bisa lebih tegas menjalankan fungsinya mengawasi pengeluaran dana negara.

"Satu sen pun uang yang keluar dari pemerintah harus disetujui oleh DPR, dan dipertanggungjawabkan kepada DPR," imbuhnya.

Senada dengan Faisal, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Antony Budiwan juga meragukan Rp502,4 triliun sebagai subsidi energi. Menurut dia, sikap pemerintah menyatukan subsidi dan kompensasi adalah hal yang tidak bisa dibenarkan.

Pasalnya, lanjut Antony, jika kompensasi tidak dikategorikan ke dalam subsidi maka bisa menjadi dana liar. Pasalnya, penyaluran kompensasi kerugian Pertamina dan PLN oleh negara inilah yang bisa menjadi bias alias tidak transparan. Praktik ini, kata dia, juga menyalahi Undang-Undang (UU) keuangan negara.

"Kalau itu benar-benar selisih harga maka seharusnya masuk ke dalam subsidi. Tidak boleh masuk kompensasi. Ini menyalahi aturan UU keuangan negara," tandasnya.

Sebelumnya, Menteri Keuangan, Sri Mulyani menyampaikan dalam RAPBN 2023 pemerintah mengalokasikan dana untuk subsidi energi dan kompensasinya sebesar Rp336,7 triliun. Sri Mulyani menyebut angka itu lebih kecil dari realisasi tahun 2022 mencapai Rp502,4 triliun.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan menyebut rencana kenaikan harga pertalite dan solar subsidi sudah di depan mata. Pengumuman kenaikan harga BBM itu, kata Luhut, kemungkinan akan disampaikan oleh Presiden Joko Widodo pada pekan depan.

"Nanti mungkin minggu depan presiden akan mengumumkan mengenai apa dan bagaimana kenaikan harga ini," ungkap Luhut saat mengisi Kuliah Umum di Universitas Hasanuddin, Jumat (19/8).

Adapun, Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto menyebut saat ini harga keekonomian pertamax yaitu sebesar Rp15.150/liter dan pertalite Rp13.150/liter.

Airlangga membeberkan apabila nanti harga BBM subsidi disesuaikan, pemerintah telah mengkalkulasi kebutuhan kompensasi kepada masyarakat melalui berbagai program perlindungan sosial.

"Artinya dikaitkan dengan program yang berjalan dalam perlindungan sosial seperti yang kami lakukan saat penanganan Covid-19. Terkait dengan anggaran, ke depan kami persiapkan di 2023 sekitar Rp336,7 triliun," kata Airlangga.

134