Jakarta, Gatra.com – Pembacaan pidato tahunan dilakukan oleh Presiden Republik Indonesia (RI), pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada Selasa (16/8) di Jakarta dikritik oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) melalui sebuah rilis yang diterbitkan
Jokowi yang dalam pidatonya menyinggung beberapa hal, terutama upaya hilirisasi atau pengolahan bahan tambang di dalam negeri, penguatan kondisi ekonomi, serta pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), dianggap kurang perhatian terhadap isu lingkungan.
Walhi mencatat bahwa berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), terjadi 2.943 kejadian bencana pada 2021 lalu, yang didominasi oleh bencana hidrometeorologi. Tipe bencana ini sangat dipengaruhi oleh perubahan kondisi iklim. Pada tahun ini, Walhi memprediksi bahwa kenaikan terjadinya bencana hidrometeorologi akan meningkat sekitar 7%.
Fokus kerja Jokowi pada bidang hilirisasi dan industrialisasi dianggap akan mengeksploitasi sumber daya alam (SDA). Pada masa pemerintahan Jokowi, pemberian ijin lahan pertambangan juga paling banyak dilakukan hingga sebesar 5,4 juta hektar, meningkat bila dibandingkan pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebesar 3,9 juta hektar.
Klaim industri hijau dan energi bersih yang diupayakan Jokowi belum menunjukkan keseriusan. Hal ini terlihat dalam masih banyaknya pembangunan proyek pembangkit tenaga listrik yang terus menggunakan energi fosil. Luas tambang batubara di Indonesia juga semakin bertambah, di mana 2 juta hektar diantaranya berada pada tutupan lahan hutan.
Selain itu, pengembangan industri mobil listrik yang ramai digaungkan tahun ini diproyeksikan akan memunculkan masalah ekologis baru. Salah satu bahan utama dalam industri ini adalah nikel. Indonesia sendiri tercatat sebagai negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia sebesar 23,7% dari total cadangan nikel di dunia, di mana Pulau Sulawesi dan Maluku menjadi yang terbanyak. Dampak aktivitas pertambangan nikel mempengaruhi masyarakat di daerah itu.
Limbah nikel yang dibuang ke laut pesisir Pulau Wawoni’i menyebabkan 2 hektar terumbu karang mengalami kerusakan. Dengan perubahan ekosistem yang terjadi, nelayan menjadi profesi yang paling terdampak karena ikan semakin sulit didapatkan. Nelayan harus melaut lebih jauh untuk mendapat jumlah tangkapan yang sama, sehingga penggunaan bahan bakar (solar) meningkat. Sementara itu, di Halmahera Timur, salah satu Kabupaten di Maluku Utara, data BPS mencatat penurunan jumlah nelayan. Pada tahun 2004, tercatat nelayan sebanyak 8.587 orang, tapi jumlahnya terus turun dari tahun ke tahun, hingga hanya tersisa sebanyak 3.532 orang pada 2018.
Upaya Jokowi dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berfokus pada pembangunan perlu dilihat kembali dari sudut pandang lingkungan. Sumber daya alam yang dimanfaatkan harus memperhatikan dampak bagi masyarakat sekitar. Selain itu, pengeluaran ijin yang dilakukan harus mengikuti peraturan yang ada sehingga tidak terjadi monopoli bagi pihak tertentu.