Jakarta, Gatra.com – Presiden Joko Widodo, membacakan perencanaan Rancangan Anggaran Pembelanjaan Negara (RAPBN) 2023 di Jakarta, Selasa (16/8). Dalam pernyataannya, Jokowi menjelaskan bahwa APBN 2023 merupakan APBN yang suporitf, terukur, dan fleksibel. Hal ini tak luput dari gejolak politik dunia yang turut mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.
Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad menjelaskan bahwa tahun 2023 menjadi tahun kritis. Dengan masih terjadinya konflik antara Rusia dan Ukraina, perubahan harga minyak, hingga nilai inflasi global, kemungkinan akan terjadi stagnansi ekonomi di tahun depan.
Nailul Huda, Peneliti Center of Digital Economy & SMEs menjelaskan bahwa tahun depan, kemungkinan penerimaan negara yang paling besar bergantung pada perpajakan. Hal ini didorong adanya penurunan penerimaan dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang sangat dipengaruhi oleh harga komoditas.
Proyeksi tahun depan menunjukkan bahwa harga komoditas akan turun sehingga sector pajak menjadi tiang utama pendapatan negara.
“Ekonomi global ke depan akan terjadi perlambatan pertumbuhan. Faktor inflasi yang menyebabkan perlambatan pertumbuhan,” jelasnya pada diskusi public yang diselenggarakan INDEF secara daring pada Selasa (16/8).
Dikatakan, Indonesia diproyeksikan akan mengalami kenaikan inflasi. Meskipun kondisi inflasi hingga Juni masih berada di 4,94%, proyeksi tersebut belum final. Dengan adanya sejarah kenaikan harga minyak bumi pada 2013 lalu yang membuat inflasi Indonesia sampai puncaknya di 8,79%, maka proyeksi inflasi hingga akhir tahun ini kemungkinan akan berada di angka 8%.
Selain itu, rasio penerimaan perpajakan Indonesia masih berada di bawah standar. Dibandingkan Negara ASEAN lain yang berada di posisi lebih dari 13%, Indonesia masih ada di kisaran 9-10%. Pajak Penghasilan (PPh) menyumbang rasio terbesar diikuti dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), PNBP, dan Cukai. Penerimaan sector perpajakan digambarkan akan positif, berbanding terbalik dengan PNBP yang cenderung tumbuh negatif.
“Pada tahun 2021, penerimaan perpajakan telah memenuhi target, tidak seperti pada 2020. Kita tidak berharap lagi ada Tax Amnesty Jilid 3. Saya pribadi menentang adanya Tax Amnesty. Ini bisa menurunkan partisipasi wajib pajak, kepatuhan wajib pajak, dan juga tidak fair terhadap pembayar pajak yang sudah taat,” ungkapnya.
Hasil pemerataan ekonomi juga menunjukkan bahwa pasca-pandemi, ketimpangan di perkotaan meningkat. Meskipun pertumbuhan penerimaan pajak bersifat positif, namun ternyata hal tersebut tidak mempengaruhi pemerataan pendapatan. Hal ini perlu diperhatikan oleh pemerintah agar pemerataan bisa terjadi di 2023.