Jakarta, Gatra.com - Industri kelapa sawit menyerap jumlah tenaga kerja yang cukup besar. Sayangnya, para pekerja sektor tersebut banyak yang belum mendapat jaminan atau perlindungan. Padahal, mereka rentan mengalami kecelakaan kerja karena tingginya risiko pekerjaan itu.
Koordinator Koalisi Buruh Sawit (KBS), Zidane membeberkan sejumlah temuan timnya. Rata-rata kecelakaan kerja yang dialami oleh pekerja sawit meliputi tersayat egrek, tertimpa pelepah atau buah, terkena atau terhirup racun pestisida, dan lainnya.
"Kecelakaan kerja yang dialami oleh buruh sawit menyebabkan cacat tubuh hingga meninggal dunia," kata Zidane melalui diskusi daring 'Dinamika Implementasi Program Jaminan Sosial dan K3 dalam Sektor Industri Perkebunan Kelapa Sawit' yang digelar Trade Union Rights Center (TURC), Senin (15/8).
Zidane menjelaskan, ada beberapa penyebab kecelakaan kerja di industri sawit kian marak. Misalnya, tempat kerja yang tidak rata atau bersemak lebat, pohon sawit yang terlalu tinggi, fasilitas antar-jemput buruh yang tidak layak, Alat Pelindung Diri (APD) yang tidak memadai dan layak, serta minimnya pemeriksaan kesehatan secara rutin.
Di Kalimantan Timur, misalnya, hanya ada satu klinik di aera perkebunan. Kondisi ini diperparah jika pekerja belum terdaftar sebagai anggota BPJS, baik BPJS Kesehatan maupun BPJS Ketenagakerjaan. Mereka tidak bisa mendapatkan pengobatan dan rehabilitasi.
Kondisi paling buruk diterima oleh buruh perempuan. Zidane mengatakan, ada diskriminasi upah di industri sawit.
"Di Kalteng, buruh perempuan hanya mendapatkan upah sebesar Rp26 ribu per hektar dan tidak ada pemeriksaan kesehatan. Besaran upah yang diterima oleh buruh sawit itu tidak menentu," kata Zidane.
Buruh perempuan yang mayoritas berstatus Buruh Harian Lepas (BHL) menjadi kelompok yang sangat rentan mengalami kecelakaan kerja. Mereka ditempatkan untuk bekerja yang secara langsung berhadapan dengan bahan kimia, tetapi mereka tidak memakai APD yang layak karena perusahaan tidak menyediakannya.
Zidane mengatakan, negara dinilai tidak melakukan pengawasan dan monitoring implementasi Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) di perkebunan sawit. Juga tidak ada kebijakan perlindungan buruh perkebunan sawit, padahal buruh sawit bekerja di ruang terbuka. Apalagi terhadap buruh perempuan, yang bekerja di lokasi yang penuh risiko.
Dari aspek perusahaan, Zidane menyebut bahwa korporasi sering kali tidak tidak menyediakan informasi tentang potensi dampak dan bahaya dari bahan kimia. Perusahaan juga belum menyediakan sarana SMK3. Misalnya, tidak menyediakan ambulan untuk membawa korban ke rumah sakit terdekat.
Selain itu, mereka tidak mendaftarkan buruh dalam BPJS. Alasan perusahaan adalah buruh yang bersangkutan berstatus BHL dan/atau tidak memiliki KTP.
"Minimnya tindakan preventif, kuratif, dan rehabilitatif, sehingga menempatkan buruh dalam kondisi yang sangat berisiko," tutupnya.