Jakarta, Gatra.com – Serial monolog “Di Tepi Sejarah” akan memasuki musim penayangan kedua tepat di hari kemerdekaan RI, 17 Agustus 2022 ini. Kali ini, ada lima riwayat pelaku sejarah yang dikisahkan. Kelimanya yakni Ketua Pemerintahan Darurat RI Sjafruddin Prawiranegara, fotografer pribumi pertama di Indonesia Kassian Cephas, penyanyi dan penulis lagu Gombloh, komponis Ismail Marzuki, dan pelukis perempuan Emiria Soenassa.
“Kenapa kami kemudian melanjutkan lagi ini di season kedua, di mana sebenarnya melihat dari animo yang cukup besar ketika season pertama itu dibuat,” jelas Produser KawanKawan Media, Yulia Evina Bhara, dalam konferensi pers, Senin (15/8).
Sebagaimana diketahui, KawanKawan Media bersama Titimangsa bekerja sama dengan Direktorat Perfilman, Musik, dan Media Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), untuk memproduksi “Di Tepi Sejarah”.
Lebih lanjut, Yulia menjelaskan bahwa animo yang besar itu juga tampak dari antusiasme sejumlah pihak dalam mengikuti lomba resensi yang saat itu diadakan oleh KawanKawan Media bersama Titimangsa bekerja sama dengan Direktorat Perfilman, Musik, dan Media Kemendikbudristek, seiring dengan digelarnya pementasan “Di Tepi Sejarah” musim pertama.
“Tulisan-tulisan tersebut sebenarnya membuat kita merasa lebih yakin bahwa sebenarnya cara lain ataupun cara mencari tentang sejarah itu bisa dari berbagai sumber,” lanjut Yulia.
Direktur Perfilman, Musik, dan Media Kemendikbudristek Ahmad Mahendra pun mengamini hal tersebut. Ahmad mendukung pelaksanaan pementasan tersebut sejak musim pertama pun menyebut “Di Tepi Sejarah” sebagai sebuah inisiasi yang memberi kontribusi.
“Kita membutuhkan berbagai medium dan cara pandang baru dalam melihat sejarah agar kebudayaan kita makin maju. ‘Di Tepi Sejarah’ adalah sebuah inisiasi yang memberi kontribusi,” tukas Ahmad dalam siaran pers hari ini, Senin (15/8).
Ahmad pun menegaskan bahwa direktorat yang dipimpinnya akan terus mendukung berbagai inisiasi dari komunitas. Ia juga menyebut salah satu misi dan tugas utama Direktorat Perfilman, Musik, dan Media Kemendikbudristek adalah untuk menjembatani antara unsur kekinian dengan unsur lama dalam setiap produksi konten mereka.
Sementara itu, pendiri Titimangsa sekaligus produser pementasan “Di Tepi Sejarah” Happy Salma dalam konferensi pers tersebut justru menyebut “Di Tepi Sejarah” sebagai ruang belajar bersama bagi berbagai pihak.
“Jadi ‘Di Tepi Sejarah’ ini adalah ruang belajar kami. Bukan hanya mengenang sosok-sosok yang memberikan kontribusi besar, yang namanya tidak banyak disebut di dalam dinamika kebangsaan ini, tetapi juga kita bersama-sama belajar untuk mempertajam diri kita dan juga menempa diri kita dengan pilihan-pilihan profesi kita,” ujarnya.
Selain itu, Happy memandang pementasan “Di Tepi Sejarah” sebagai suatu hal yang penting. Pasalnya, ia memandang bahwa kesenian lah yang dapat menciptakan ruang diskusi, yang muncul akibat leburan berbagai interpretasi.
“Karena salah satu dasar keinginan kita untuk ‘Di Tepi Sejarah’, salah satunya, kenapa sih pingin nama-nama ini yang diangkat. Kita pingin ada ruang ngobrol, gitu, dan pinginnya bahkan pelajar, mahasiswa, orang umum tuh boleh bertanya, boleh menyangkal. Itu yang diinginkan, biar juga melatih, terutama untuk belajar, tidak sepenuhnya percaya pada berita-berita kabar burung atau hoaks dan lain sebagainya,” jelas Happy.
Happy pun memaparkan, selain Sjafruddin Prawiranegara dalam episode “Kaca Mata Sjafruddin”, keempat sosok yang dibawakan dalam “Di Tepi Sejarah” musim kedua merupakan pelaku-pelaku kesenian. Kassian Cephas dalam episode “Mata Kamera”, misalnya, yang menjadi fondasi dalam dunia fotografi Indonesia di masa Hindia Belanda, atau Emiria Soenassa dalam “Yang Tertinggal di Jakarta”, Ibu Seni Rupa Indonesia yang namanya jarang sekali disebut meski ia memiliki pandangan dan posisi yang penting untuk dunia seni rupa di Tanah Air.
“Ada Ismail Marzuki, walaupun banyak orang mengenal dia, tetapi banyak orang yang tidak mengetahui, bagaimana sih proses lagu-lagu itu tercipta, apa saja pergulatan batinnya, dan lain sebagainya,” ujar Happy terkait sisi yang diangkat pada sosok Ismail Marzuki dalam episode “Senandung di Ujung Revolusi”.
Ada pula penyanyi sekaligus penulis lagu Gombloh, seperti yang ditambahkan oleh Produser KawanKawan Media Yulia Evina Bhara, yang memiliki pandangan serta pemikiran yang masih sangat sesuai dengan apa yang terjadi hari ini.
Happy Salma pun berharap, pegelaran “Di Tepi Sejarah” musim kedua ini akan menuai kesuksesan seperti musim sebelumnya, sehingga “Di Tepi Sejarah” dapat kembali diadakan tahun di tahun mendatang, dengan melibatkan lebih banyak lagi orang.
“Bahkan mungkin bisa ditonton langsung, melibatkan pelajar, mahasiswa, kelompok-kelompok teater, bukan yang hanya ada di Jakarta, tapi di kota-kota lainnya,” ujar Happy.