Jakarta, Gatra.com – Di balik menterengnya status Labuan Bajo sebagai salah satu destinasi pariwisata super prioritas (DPSP) yang berlokasi di ujung barat Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), masih terdapat pekerjaan rumah di sektor kesehatan yang mesti diberi perhatian oleh pemerintah pusat maupun daerah, yaitu angka stunting yang tinggi.
Merujuk pada hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) yang dirilis Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tahun 2021 lalu, Provinsi NTT menempati peringkat pertama nasional dalam angka stunting tertinggi dengan 37,8%. Posisi NTT dibuntuti Sulawesi Barat (33,8%), Aceh (33,2%), Nusa Tenggara Barat (31,4), dan Sulawesi Tenggara (30,2).
Kabupaten Manggarai Barat di NTT, di mana destinasi wisata Labuan Bajo berada, masuk di posisi sepuluh besar (urutan ke-9) kabupaten dengan angka stunting tertinggi di seluruh NTT dengan angka 38,9%.
Merujuk pada “Penilaian Kinerja Aksi 5-8 Konvergensi Penurunan Stunting Kab. Manggarai Barat” yang dirilis Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Manggarai Timur tahun 2021, sejumlah 5 dari total 12 kecamatan dari kabupaten tersebut berada di zona merah atau kronis stunting.
Zona merah berarti angka stunting berada di atas 20%. Kecamatan-kecamatan itu adalah Sano Nggoang (31%), Lembor (26,4%), Kuwus (24,3%), Macang Pacar (23,6%), dan Kuwus Barat (24,4%). Kecamatan Labuan Bajo sendiri berada di zona sedang dengan angka 17,8%.
Dari total jumlah kecamatan tersebut, sebanyak 73 desa berstatus zona merah atau kronis stunting. Persentasenya sebesar 43,2%. Sementara yang tergolong sedang berjumlah 38 desa (22,49%), ringan 26 desa (15,38%), dan sangat ringan 32 desa (18,93%).
Sampai Agustus 2020, jumlah balita yang mengalami stunting di Kabupaten Manggarai Barat sendiri berjumlah sebanyak 3.788 balita. Penyebabnya beragam, di antaranya 2.720 balita tak punya jaminan kesehatan, 289 balita tak punya akses ke air bersih, 700 balita tak punya akses ke jamban sehat, dan lain-lain.
Oleh karena itu, bantuan dana dari pemerintah pusat dinilai krusial untuk mengatasi stunting, terutama di Kabupaten Manggarai Barat, NTT. Hanya saja, sampai saat ini, belum ada langkah konkret dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT), dalam mengalokasikan dana prioritas untuk menurunkan angka stunting itu.
Dirjen Pembangunan Desa dan Pedesaan Kemendesa PDTT, Sugito, menyatakan bahwa alokasi dana desa yang spesifik untuk mengatasi stunting di desa-desa, termasuk di desa-desa di NTT, baru sebatas kerangka umum atau rencana.
Walau sudah bekerja sama dengan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sebagai pelaksana percepatan penurunan angka stunting nasional, Sugito tak gamblang menjelaskan sudah sejauh mana kolaborasi Kemendesa PDTT dengan BKKBN itu sudah berjalan.
“Tentu soal prioritas alokasi dana itu disesuaikan dengan masing-masing desanya. Contoh kalau mengambil Labuan Bajo. Nanti dilihat kondisi stunting di sana seperti apa, kemudian nanti alokasi dananya seperti apa, terutama untuk men-support di Posyandu,” ujar Sugito kepada Gatra.com di Gedung Kemendesa PDTT, Jakarta, Kamis, (11/8).
Sejauh ini Kemendesa PDTT belum melakukan kunjungan atau kajian mengenai proyeksi alokasi dana untuk penurunan angka stunting di NTT. Sugito mengaku ia dan BKKBN membentuk tim di berbagai level pemerintahan dari pusat hingga daerah.
“Ini kan secara berjenjang. Di kecamatan ada tim, di kabupaten ada tim. Nggak mungkin kita mengunjungi secara keseluruhan, tetapi secara kebijakan ini semua menaungi kepada seluruh desa yang ada di Indonesia,” ujar Sugito.
Walau begitu, Sugito memastikan bahwa dana desa bisa digunakan untuk membantu percepatan penurunan angka stunting. Sebagai contoh, ia menyoroti dua di antara banyak penyebab stunting, yaitu kekurangan air bersih dan kekurangan gizi.“Stunting itu kan bisa terjadi karena kekurangan air bersih. Dari situlah bagaimana desa bisa menyalurkan air bersih dengan dana desa itu. Kedua, soal pangan, soal gizi. Dana desa bisa digunakan untuk penyiapan pangan dalam rangka untuk pengembangan di desa,” jelas Sugito.
Sebelumnya, Menteri Desa PDTT, Halim Iskandar, juga menegaskan bahwa dana desa memang bisa digunakan digunakan oleh apa saja. “Dana desa itu untuk apa saja boleh, kecuali yang dilarang,” katanya dalam agenda Ngopi Bareng Gus Menteri di Jakarta, Kamis, (11/8/2022).
Hanya saja, ia punya syarat. “Semua hal yang terkait dengan pembangunan desa boleh menggunakan dana desa asal untuk kepentingan yang sangat erat dengan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan sumber daya manusia,” tandas Halim.