Jakarta, Gatra.com - Direktur Serealia, Kementerian Pertanian, Moh Ismail Wahab mengungkapkan strategi Kementan dalam menghadapi ancaman krisis pangan global. Salah satu yang utama adalah mengembangkan substitusi gandum dengan sumber pangan lokal. Sorgum dan singkong jadi beberapa pilihan pemerintah.
Dia menyebut, pandemi Covid-19, perubahan iklim dan geopolitik di Eropa Timur yang memanas antara Rusia dan Ukraina telah memicu kelangkaan dan kenaikan harga gandum dunia. Bahkan, berbagai negara menahan ekspor gandum hingga akhir tahun 2022 ini.
"Di Indonesia memang tidak cocok menanam gandum, sehingga kita mensubtitusi gandum dengan beberapa komoditas lain yaitu singkong, sorgum atau sagu," ungkap Ismail dalam webinar 'Menangkis Ancaman Krisis Pangan Global', Selasa (9/8).
Menurut Ismail, sorgum masih satu keluarga dengan gandum dan dinilai lebih sehat karena sifat bebas gluten. Dia pun optimistis sorgum berpotensi menggantikan gandum sebagai bahan baku olahan makanan.
Adapun target Kementan dalam mengembangkan sorgum di tahun 2023 mencapai 55 ribu hektar. Sementara untuk singkong, diperkirakan luas panen tahun 2022 ini mencapai 646 ribu hektar dengan estimasi produksi mencapai 17,02 juta ton.
"Tahun ini yang telah tertulis dalam pagu indikatif ada 15 ribu hektar, dan tahun depan kami mengusulkan tambahan 40 ribu hektar sehingga total yang akan dikembangkan sebanyak 55 ribu hektar," ujarnya.
Ismail menyampaikan bahwa sorgum dapat menjadi senjata andalan dalam mengantisipasi apabila di masa mendatang, gandum akan benar-benar langka. Dia menjabarkan beberapa strategi yang dilakukan Kementan dalam mendorong sorgum dan singkong sebagai substitusi gandum. Di antaranya yaitu meningkatkan produksi dan produktivitas; skala kawasan hulu dan hilir; offtaker, KUR, Investasi, APBN, dan APBD; penggunaan 5-10 persen tepung lokal oleh produk Indofood Sukses Makmur. Sebanyak 143 pabrik tapioka memproduksi tepung dan mocaf; serta branding tepung lokal untuk panganan olahan di masyarakat.
Ismail mengaku, dalam mendorong peran sorgum sebagai substitusi gandum diperlukan peran swasta untuk mengembangkan potensi sorgum ke dalam industri.
"Kalau kami saja yang hanya melakukan mandat produksi, kalau tidak dibantu hilirisasi akan kesulitan," ucap Ismail.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rusli Abdullah ragu target pengembangan sorgum sebagai substitusi gandum dapat terwujud di 2024.
Waktu yang ditargetkan dalam peta jalan pengembangan hilirisasi sorgum oleh Presiden Joko Widodo hingga tahun 2024, menurut Rusli belum cukup untuk merealisasikannya.
"Saya rasa kalau waktunya hanya sampai 2024 belum bisa secara teknis dan administratif," sebut Rusli saat dihubungi GATRA beberapa waktu lalu.
Kendati, Rusli mengapresiasi langkah pemerintah dalam mencari substitusi gandum. Dia pun menekankan, agar rencana yang disampaikan oleh Jokowi tidak ditanggapi secara latah oleh para pembantunya (menteri-menteri terkait).
Dia mengatakan bahwa tanpa edukasi dan sosialisasi ke masyarakat, penggunaan sorgum sebagai substitusi gandum tidak akan berjalan mulus.
"Suplainya ada, pemerintah dengan daya upaya memproduksi sorgum. Tapi bagaimana dengan respon masyarakat? Mulai dari rasa dan selera masyarakat terhadap produk dari sorgum itu yang perlu dipertimbangkan," jelas Rusli.
Salah satu daya tarik bagi pengusaha adalah peluang besar masyarakat menerima sorgum sebagai pengganti gandum dalam produk olahan seperti mie, roti dan lainnya.
"Pemerintah juga perlu mengadakan program untuk melakukan riset terkait pengembangan produk sorgum dan preferensi konsumen. Ini bisa dengan menggandeng pengusaha dan peneliti," imbuhnya.