Home Hukum Kasus Penembakan Brigadir J Momen Tepat Reformasi Polri

Kasus Penembakan Brigadir J Momen Tepat Reformasi Polri

Jakarta, Gatra.com – Peristiwa penembakan Brigadir J membuka kotak pandora di dalam tubuh Polri. Sebulan setelah kejadian, kasus ini masih belum menemukan jawaban atas motif pembunuhan. Pemeriksaan yang terus dilakukan oleh Inspektur Khusus (Insus) bentukan Polri, memasuki tahap pemeriksaan pelanggaran etik oleh Ferdy Sambo dan 25 nama lainnya. Terdapat fakta-fakta baru yang terungkap menyusul ditetapkannya Bharada E sebagai tersangka.

Komjen Purn Susno Djuaji, mantan Kabareskim Polri, menjelaskan bahwa kasus ini bisa menjadi waktu yang tepat untuk melakukan reformasi Polri. Hal ini sejalan dengan adanya kewenangan yang terlalu besar di dalam Polri sehingga tidak ada pengawasan dan rentan terjadi penyelewengan.

“Selama ini, pernyataan polisi mengatakan bahwa mereka diawasi oleh Undang-Undang (UU), namun itu hanyalah sederet kata. Diperlukan adanya orang, operatornya, agar bisa berjalan,” paparnya pada diskusi yang diselenggarakan oleh Komite Penduduk Presisi Polri (KP3) dengan tajuk “Urgensi Reformasi Jilid II Polri”, Selasa (9/8).

Baca Juga: Karangan Bunga Berjejer di Mabes Polri, Dukungan Menuntaskan Kasus Brigadir J

Ia menyatakan bahwa struktur organisasi Polri yang tidak terikat oleh lembaga apapun perlu diubah. Pembentukan lembaga kode etik polisi dengan anggota di luar Polri sangat dibutuhkan agar pemeriksaan berjalan transparan. Sebagai contoh, lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki lembaga etik dari pihak luar yang bisa mengadili komisioner yang melanggar peraturan. Ini bisa diterapkan di Polri bila ada lembaga yang juga bisa mengadili Kepala Polri (Kapolri) secara menyeluruh.

Selain itu, peran dan fungsi Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang sudah ada perlu ditelisik lagi kegunaannya. Sebagai catatan, lembaga ini hanya berfungsi untuk membantu Presiden dalam menetapkan arah kebijakan Polri dan memberikan pertimbangan terkait pemberhentian dan pengangkatan Kapolri. Sejauh ini, peran Kompolnas yang terlihat hanya seperti juru bicara kepolisian untuk presiden. Keberadaan satuan tugas khusus di dalam Polri juga dianggap tidak membawa manfaat sehingga keberadaannya perlu dihapuskan.

“Jika ada kasus tertentu, boleh ada tim khusus. Namun setelahnya langsung selesai, tidak dilanjutkan,” katanya.

Baca Juga: Alasan Komnas HAM Menunda Temuan Hasil Uji Balistik Kasus Penembakan Brigadir

Senada dengan Susno, Bursah Zarnubi, Ketua Umum Perkumpulan Gerakan Kebangsaan (PGK), sepakat bahwa pembentukan lembaga kode etik Polri harus dilakukan segera. Ia juga menekankan diperlukan adanya aturan mengenai penggunaan senjata bagi polisi. Rentannya terjadi penembakan seperti yang terjadi pada kasus Brigadir J tersebut menunjukkan perlunya hukum yang mengatur kapan senjata boleh digunakan dan untuk keperluan apa.

Reformasi Polri perlu dilakukan bukan hanya di bidang struktur melainkan kultur. Ade Ardiansyah Utama, Direktur Umum KP3 menjelaskan bahwa selama ini, Polri belum mampu memenuhi fungsinya sebagai pengayom masyarakat. Dengan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap polisi, diperlukan adanya perubahan nyata di dalam Polri.

Kasus Brigadir J harus menjadi momen yang tepat untuk dilakukannya perubahan besar-besaran mengenai pengawasan Polri. Selain itu, diperlukan pembangunan karakter yang kuat sehingga tidak ada lagi pernyataan “Ngapain lapor polisi?”.

103