Jakarta, Gatra.com – Kuasa Hukum Keluarga Brigadir Nopriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J, Kamaruddin Simanjuntak mengungkapkan banyaknya kejanggalan selama penyidikan kasus kematian Brigadir J.
"Kita berjuang setiap hari, siang malam ya, baik melalui membuat pelaporan, investigasi saksi-saksi, mengumpulkan bukti-bukti, merilis di media begitu ya, akhirnya laporan kita ini sudah naik menjadi penyidikan ya,” kata Kamaruddin.
Namun, Kamaruddin menghadapi sejumlah kendala dalam membongkar perkara sesuai amanat konstitusi, Undang-Undang hingga amanat Presiden Republik Indonesia. Pertama, lantaran adanya dua kubu dari kepolisian.
Ada yang ingin membuka masalah ini seterang benderangnya dan kubu yang terus berusaha menutup perkara ini dengan menghilangkan barang bukti, menghalangi penyidikan hingga membuat isu-isu hoaks yang bertujuan untuk mempeti eskan perkara.
Kedua, ada dugaan rekayasa agar pelaku sebenarnya tidak ditetapkan tersangka sehingga menyerahkan Bharada E sebagai pelakunya. Sebelumnya, Bharada E dinyatakan sebagai personel ahli senjata dan pelatih tembak, padahal sebenarnya ia polisi pemula yang tidak mungkin langsung menjadi pelatih atau ahli tembak.
Kamaruddin menambahkan, ada kemungkinan Bharada E baru belajar menjadi ahli senjata, namun ia belum cukup umur dan pangkatnya masih rendah. Selanjutnya, perlu ada pembuktian lanjutan terkait kepakaran Bharada E dalam menggunakan senhata. Misalnya, bukti hasil uji psikologis dari Mabes Polri terkait kelayakannya menggunakan senjata, apakah yang bersangkutan mengantongi sertifikat menembak, dan bukti registrasi atau izin senjata yang diterbitkan Intelkam Polri atas nama Bharada E. Sejumlah bukti tersebut, lanjut Kamaruddin, tidak dapat dijelaskan oleh penyidik Bareskrim Polri.
Bahkan hal paling sederhana seperti pakaian korban saat terjadi penembakan hingga saat ini belum diperlihatkan. Telepon genggam yang disita merupakan hp yang baru dibeli, bukan yang sesungguhnya dari ketiga telepon genggam yang dimiliki korban. Kamera CCTV di rumah dinas Irjen Ferdy Sambo pun diketahui tersambar petir, kemudian rekamannya diambil orang lain. Namun, saat ini orang yang menyembunyikan tidak jadi tersangka.
Meski begitu, Kamaruddin mengapresiasi penyidik karena mereka sudah menggunakan pasal pembunuhan dan penganiayaan untuk menuntaskan kasus ini.
“Tetapi kita tetap apresiasi penyidik karena mereka sudah menggunakan pasal 338, salah satu yang kita laporkan dari sejumlah pasal pembunuhan dan penganiayaan seperti pasal 340 juncto pasal 338 juncto pasal 351 ayat 1,2,3 juncto pasal 55-56. Jadi, para penyidik masih menggunakan pasal 338 juncto pasal 55-56. Dari hal ini, maka akan ada segera tersangka yang kita perkarakan minimal sembilan sampai puluhan orang,” Kamaruddin menjelaskan.
Menurutnya, proses penyidikan masih jauh dari titik terang lantaran ketika Irjen Ferdy Sambo dipanggil sebagai saksi, ia tidak hadir, namun malah datang sebagai Kadiv Propam dengan mengenakan pakaian Kadiv Propam beserta lencana pangkat-pangkatnya, atributnya dan lis merah di pundaknya. Pemeriksaannya diantar oleh ajudan yang berpangkat Tamtama dan Kombes Pol.
Kamaruddin turut mempertanyakan belum dipanggilnya istri Irjen Ferdy Sambo, Putri Candrawathi dalam kapasitas sebagai saksi dalam kasus tersebut. Padahal, kondisi Putri dikabarkan sudah membaik. Seharusnya, Putri sebagai saksi kunci sudah bisa dimintai keterangan untuk membuka terang kasus tersebut.
“Tapi waktu menghadap Bareskrim polri pun belum ditunjukan sudah dimintai keterangan. Kita merilis ini di media bahwa percuma kita menunggu-nunggu karena mereka tidak bekerja,” ujar Kamaruddin.
Di sisi lain, pihaknya malah kiriman SP2HP (Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan) yang berisi yang bersangkutan sudah dimintai keterangan sebanyak 36 kali. Menurutnya, ada ketidaktransparanan dalam penyidikan.
Karena itu, Kamaruddin meminta Presiden Joko Widodo menyampaikan pandangan di depan publik, kemudian mengerahkan tim independen yang beranggotakan TNI AD, AL dan AU, auditor militer, Polisi Militer, penyidik Polri, Jaksa Agung atau Kejaksaan Agung, akademisi, praktisi hingga NGO untuk membantu pengusutan kasus tersebut. Sehingga, Korps Bhayangkara tidak terbebani dan menghindari adanya konflik kepentingan yang mengambat penyidikan kasus.
Diketahui, Kapolri sudah mencopot 25 orang anggota Polri sejak 4 Agustus lalu, namun Kuasa Hukum Brigadir J berpandangan hal tersebut belum cukup, “Saya minta jangan hanya dicopot, namun juga dijadikan tersangka yang melakukan pembunuhan berencana karena menghalangi penyidikan, mencuri atau menggelapkan atau menyembunyikan barang bukti," pungkasnya.
Reporter: Siti Halimah Trizandra
Editor: Andhika Dinata