Yogyakarta, Gatra.com – Di tengah menunggu rekomendasi tim pemeriksa kasus pemaksaan pemakaian jilbab di SMAN 1 Banguntapan, Bantul, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono X, membebaskantugaskan kepala sekolah dan tiga guru.
“Satu kepala sekolah dan tiga guru di SMA Bangutapan saya bebaskan dari jabatan tidak boleh mengajar,” kata Sultan, Kamis (4/8).
Ia menegaskan, dalam kasus pemaksaan jilbab ini, kebijakan sekolah tentang peraturan penggunaan seragam di sekolah melanggar Permendikbud Nomor 45 Tahun 2014 tentang Seragam Sekolah.
“Ini yang salah bukan anaknya. Yang salah kebijakan itu melanggar. Kenapa yang pindah anaknya? Sekolah itu yang harus ditindak. Saya tidak mau pelanggaran-pelanggaran seperti itu didiamkan,” tegasnya.
Merujuk Permendikbud nomor 45/2014, Sultan mengatakan penggunaan jilbab sebagai seragam sekolah memang dipersilakan, tetapi jangan dipaksakan. Dirinya juga sangat menyayangkan pemindahan siswi yang menjadi korban pemaksaan tersebut.
“Ini malah yang dikorbankan anaknya yang suruh pindah. Ini gimana? Yang salah sekolahnya, yang salah oknum gurunya. Mereka yang seharusnya ditindak,” katanya.
Sementara itu, dari pemeriksaan terhadap guru agama SMAN 1 Banguntapan berinisial U, Kepala Ombudsman Republik Indonesia (ORI) DIY Budhi Masturi mendapat kejelasan soal alasan sekolah itu memiliki banyak program berbasis keagamaan Islam.
“Sekolah ini punya program keagamaan yang lumayan banyak. Selain pelajaran agama, ada kegiatan tadarus bersama setiap pagi yang dipandu oleh guru di ruang wakil kepala sekolah. Kemudian ada program tadarus yang mewajibkan setiap siswa menyelesaikan dua juz,” jelasnya.
Sebagai satu dari tiga guru agama yang menyusun kurikulum pendidikan agama, U sebut Budhi mendasarkan program-program keagamaan dari parameter penilaian akreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN S/M).
Dari salinan kriteria dan perangkat akreditasi itu, Budhi menyebut ada parameter penilaian yang tertulis ‘Siswa menunjukkan perilaku religius dalam aktivitas di sekolah/ madrasah’.
Menurutnya, jika membaca instrumen parameter akreditasi itu dengan kebijakan sekolah, Ombudsman melihat terjadi kekeliruan dalam membaca parameter.
“Ada perbedaan instrumen dari panduan dan penerjemahan di sekolah. Kalau seperti ini, ada benang merah kenapa masif (penggunaan identitas agama Islam di sekolah-sekolah negeri). Bisa jadi ada kontribusinya,” jelasnya.