Jakarta, Gatra.com - Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) masih belum sepenuhnya solid, karena cenderung masih menunggu dan melihat perkembangan kondisi politik ke depan. Begitu juga dengan dinamika di internal Partai Golkar masih sangat kuat, sehingga berpotensi mengancam masa depan kepemimpinan Ketua Umum Airlangga Hartarto.
Hal itu disampaikan oleh Pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI) Cecep Hidayat dan Pengamat Politik Ahmad Khoirul Umam pada Rabu (3/8/2022).
"Jadi KIB sendiri masih belum solid saya kira. Dia masih wait and see kecenderungan-kecenderungan politik yang terjadi ke depan," ujar Cecep.
Golkar saat ini mengajukan nama Ketum Golkar Airlangga Hartarto sebagai calon presiden pada Pilpres 2024. Meski demikian, Cecep menduga Golkar bisa saja berubah jelang pendaftaran capres-cawapres pada Pilpres 2024. Di sisi lain, PAN menyebut semua ketum umum partai di KIB memiliki peluang sama sebagai capres.
Cecep menilai wajar jika Golkar akan mengambil banyak porsi dalam penentuan calon yang akan diusung KIB dalam Pilpres 2024, sebagai partai anggota koalisi dengan suara tertinggi pada Pileg 2019.
"Jadi kalau pun sekarang muncul, dari tiga partai itu, peraih suara tertinggi kan Golkar. Mau tak mau, biasanya partai yang lebih banyak yang mengajukan sebagai calon," tambahnya.
Sementara itu, Khoirul Umam mengatakan, dinamika di internal Partai Golkar masih sangat kuat, sehingga berpotensi mengancam masa depan kepemimpinan Ketua Umum Airlangga Hartarto termasuk juga konstelasi politik di KIB.
“Golkar merupakan partai politik yang dihuni oleh berbagai macam gerbong kekuatan politik yang tidak tunggal. Akibatnya, masing-masing kekuatan akan saling mengintai dan saling serang,“ tegas Umam.
Ia mencontohkan pernyataan Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Bambang Soesatyo menegaskan bahwa Airlangga adalah capres pilihan dari Partai Golkar. Namun menurut Umam, ucapannya ini bisa mengunci Airlangga.
“Dalam konteks ini, statemen Bamsoet tentang pencapresan Airlangga ini merupakan strategi untuk mengunci langkah Airlangga yang sebenarnya sedang menjalankan "time buying strategy" untuk menantikan dinamika hubungan Istana Presiden dan PDIP dalam mencapreskan Ganjar Pranowo,” ungkapnya.
Bamsoet, kata dia, melihat bahwa kubu Airlangga dan KIB yang mulai menarasikan pencapresan dan pencawapresan dari internal partai. Jika pencapresan Airlangga dipaksakan, hal itu akan berdampak pada soliditas KIB sendiri.
Sebab, lanjut Umam, partai papan tengah seperti PAN dan PPP cenderung tidak berani memainkan strategi politik yang spekulatif. Mereka cenderung akan berpihak pada koalisi yang memiliki kemungkinan menang lebih besar.
Dosen Universitas Paramadina Jakarta ini menambahkan, jika tidak memiliki Capres-Cawapres yang kompetitif, partai-partai papan tengah itu tidak akan mendapatkan coat-tail effect yang optimal, dan berpotensi membuat mereka terdegradasi dari Parliamentary Threshold 4% yang menghantui mereka, khususnya PAN dan PPP.
“Jika akhirnya Airlangga salah langkah, hal itu akan menjadi celah bagi Bamsoet untuk mengkudeta kepemimpinan Airlangga. Karena itu kubu Airlangga harus mengantisipasi kondisi ini,” beber Umam.
"Sekarang tinggal bagaimana Airlangga mempergunakan kepemimpinannya untuk menjaga stabilitas internal partainya. Di saat yang sama, Airlangga juga harus mematangkan strategi politiknya, agar tidak salah langkah. Jika sampai salah langkah, ada kekuatan lain yang sudah menunggu untuk menantang kepemimpinannya," tambahnya lagi.