Pati, Gatra.com– Kabupaten Pati, Jawa Tengah, pada bulan ini bakal memasuki usia yang ke 699 pada 7 Agustus 2022. Namun silang pendapat tentang HUT ini, masih menjadi kontroversi sejumlah pihak. Memang hari jadi suatu daerah selalu menarik untuk diulas.
Penetapan HUT Pati sendiri ditandai dengan pemindahan (boyongan) kekuasaan Kadipaten Pesantenan dari Desa Kemiri ke Desa Kaborongan, dengan simbol pusaka Kuluk Kyai Kanigoro dan Keris Kyai Rambut Pinutung. Sementara untuk tahun 1323, didasarkan Pisowanan Agung di Kerajaan Majapahit pada masa pemerintahan Raja Jayanegara.
Sedangkan untuk alternatif tanggal yakni 3, 7 dan 14 Agustus, hal tersebut muncul dalam seminar pada 28 September 1993 di Pendopo Kabupaten Pati. Dari situ, Tim Penyusun Hari Jadi Pati memutuskan untuk HUT Pati jatuh pada tanggal 7 Agustus.
Selanjutnya, tanggal 7 Agustus 1323 ditetapkan sebagai HUT Pati, dikuatkan dengan peraturan daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 1994.
Pegiat Sejarah, Ragil Haryo mengaku cukup janggal dengan peristiwa boyongan yang menandai hari jadi tersebut. Mengingat pada peta Pati kuno tahun 1858, tidak tertulis daerah dengan nama Kaborongan.
“Tidak tertulis daerah dengan nama Kaborongan, wilayah itu masih dinamakan Pandean. Padahal boyongan ini dari Kemiri ke Kaborongan,” ujarnya kepada Gatra.com, Selasa (2/8).
Ditelisik dari segi bahasa, ia menyebut Kaborongan berasal dari nama Borong, dan istilah ini cukup muda digunakan sebagai serapan bahasa Jawa. Dan bukan berasal dari bahasa Sanskrit (Sansekerta) yang lumrah digunakan untuk menamai daerah di masa lalu.
“Kaborongan di masa lalu kemungkinan pusat pengembangan kota dari Belanda, karena dilihat dari struktur wilayahnya di situ ada Kabupaten, Kauman, Pecinan yang merupakan identik buatan Belanda untuk mengatur kelompok-kelompok tersebut,” bebernya.
Ketika Kaborongan masuk kedalam Babad Pati, ia menduga ada campur tangan Belanda di situ.“Kemungkinan ada kepentingan Belanda di situ. Saya juga bingung, ini Pandaian kok, Kaborongan belum muncul, nah di Babad Pati kok sudah mucul,” jelasnya.
Selain itu, Pisowanan Agung penguasa Pati yakni Adipati Tambranegara pada 13 Desember 1323 ke Majapahit yang tercatat dalam prasasti Tuhanaru pun banyak dipertanyakan sejumlah pakar. “Tafsiran prasasti itu banyak dipertanyakan banyak orang, karena multitafsir,” terangnya.
Berseberangan dengan kebanayakan orang, Ragil mengutarakan ketidaksetujuannya jika nama Pati kuno adalah Kadipaten Pesantenan. Lagi-lagi kosa kata itu cenderung baru dan tidak ada dalam Sanskrit maupun Jawa Kuno.
“Belum saya temui naskah yang menyebut di naskah lawas, Pati sebagai Pasentanan. Nama Pesantenan berasal dari Santen (Santan), itu lebih ke nama-nama baru dimana bahasa Jawa sudah mengalami perkembangan besar di era Mataram,” ungkapnya.
Demikian, ia membenarkan jika usia Pati memang sangat tua. Lantaran di era masa kejayaan kerajaan Hindu-Budha sudah dinamakan Bumi Pati.
“Dengan ada bebera tafsiran. Misalnya yang diutarakan salah satu seorang profesor dari Undip, menyatakan bahwa Pati berasal dari nama Pati Yamca Bumi Yamca. Yang paling tua dari itu. Kemudian dari naskah mataram pun sudah disebut Pati,” rincinya.
Selain itu, lanjut Ragil, tidak sedikit pegiat sejarah yang berargumen baiknya HUT Pati didasarkan pada tulisan De Graff yang mana sebelum Penjawi, pernah ada Kayu Beralit di Babat Sengkalaning Mewana.
“Kala itu ada penguasa di wilayah Muria dengan nama Kayu Beralit. Kalau ditarik sekitar tahun 1400-an,” imbuhnya.
Ragil beranggapan, seyogianya HUT Pati berdasarkan keputusan pemerintah Hinda Belanda ketika merubah sistem administrasi politik, yang diawali oleh Raffles yang mengenalkan Prefektur.
Hanya saja, Ragil belum menjumpai Staatsblad yang mengatur Regionscap (Kabupaten) di Jawa Tengah. Ia baru menemukan dokumen Staatsblad di periode 1904 yang membagi Kecamatan (underdistrict) di Pati.
“Nah mungkin untuk lebih sahih, kita bisa menemukan dokumen proses pembentukan kabupaten-kabupaten itu, inilah yang bisa menjadi acuan hari jadi kabupaten Pati,” katanya.
Terlepas dari banyaknya versi yang berbeda terkait cikal bakal hari jadi, ia menilai hal itu sebuah kewajaran. Di mana pasca orde baru era keterbukaan informasi terbuka lebar, yang berimbas pada orang ingin mengulik tabir sejarah di daerahnya masing-masing.
“Pandangan berbeda tentang hari jadi sebuah daerah tidak hanya terjadi di Pati, tetapi hampir semua daerah dan selalu dikritisi ulang. Mengenai kontroversi ini mungkin banyak mempertanyakan kenapa umur Pati bisa setua itu, kok lebih tua dari Mataram Islam? Memang bicara Pati, Pati memang tua, apalagi melihat dari letak geografis di wilayah pesisir utara,” paparnya.
Di penghujung percakapan, Ragil mengatakan, polemik hari jadi akan terus bergulir. Sehingga perlu penanganan khusus dari pemerintah daerah.
“Minimal ada stimulant penulisan sejarah, sehingga ada benang merah yang mengkontruksi sejarah Pati yang itu paling tidak bisa meminimalisir bias hari jadi,” pungkasnya.