Jakarta, Gatra.com- Indonesia segera memasuki puncak bonus demografi pada tahun 2030 mendatang. Di masa itu, jumlah penduduk berusia produktif akan lebih banyak dibandingkan penduduk non produktif.
Per tahun 2020 saja, berdasarkan data BPS, jumlah penduduk usia produktif atau angkatan kerja sebanyak 140 juta jiwa dari total 270,20 juta jiwa penduduk indonesia. Apalagi pada tahun 2030, jumlah tersebut diperkirakan akan meningkat pesat.
Pemerintah tentu saja telah melakukan ragam upaya untuk menyiapkan bonus demografi untuk mewujudkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan berdaya saing, yaitu manusia yang sehat dan cerdas, adaptif, inovatif, terampil, dan berkarakter.
Akan tetapi, menurut Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy, kondisi pasca dari bonus demografi juga harus diperhatikan mulai dari sekarang.
Pasalnya, Muhadjir menerangkan, setelah era bonus demografi selesai, penduduk usia produktif yang semula mendominasi otomatis akan bergeser menjadi penduduk usia tua. Karena itu, menurut dia, penanganan ini harus dimulai dari perencanaan keluarga.
Hal itu disampaikan Menko PMK saat memberikan sambutan dalam Launching Commitment Family Planning 2030, yang diselenggarakan BKKBN dan UNFPA Indonesia, di Hotel Westin Jakarta, pada Senin (1/8).
Commitment Family Planning 2030 atau disingkat FP 2030 merupakan kemitraan di tingkat global bertujuan untuk memberdayakan perempuan dengan berinvestasi pada konsep keluarga berencana berbasis hak. FP 2030 merupakan keberlanjutan dari FP 2020. Peluncuran Komitmen FP 2030, yang diselenggarakan oleh BKKBN, didukung oleh United Nations Population Fund (UNFPA), dan Yayasan Cipta.
Dalam acara itu hadir tuan rumah Kepala BKKBN Hasto Wardoyo, UNFPA Representative in Indonesia Anjali Sen; Global Affairs of Canada Kevin Tokar; Executive Director FP2030, dan Perwakilan Pakar Dr Samukeliso Dube (daring), para akademisi, perwakilan organisasi profesi, CSO dan organisasi pemuda yang tergabung dalam FP2030 Country Committee.
Muhadjir menekankan, "Keluarga berencana mestinya juga sudah mengantisipasi setelah tahun 2030. Ketika kita berada di puncak bonus demografi kemudian yang akan segera diikuti dengan ageing population atau negara penduduk menua."
Lebih lanjut, Muhadjir meminta agar lembaga yang bertanggung jawab dalam keluarga berencana, yakni Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) untuk mulai belajar dari negara-negara yang sudah melalui fase bonus demografi.
Seperti diketahui, pemerintah melalui BKKBN memiliki kampanye "2 anak cukup" untuk mengendalikan jumlah penduduk. Penurunan laju penduduk dengan kampanye tersebut cukup berhasil. Namun Muhadjir memiliki kekhawatiran bila kampanye ini terus digencarkan sampai pasca bonus demografi, maka generasi produktif Indonesia akan kurang di masa ageing population.
Karenanya, dia meminta agar BKKBN bisa mempersiapkan kajian kebijakan yang komprehensif untuk keluarga berencana pasca masa puncak bonus demografi agar tidak kekurangan penduduk usia produktif di masa ageing population.
"Saya tidak tahu apakah suatu saat masih akan relevan dua anak cukup, atau apakah semakin banyak anak semakin cukup. Karenanya kita perlu belajar dari negara lain seperti Singapura, Jepang, Korea Selatan," ujarnya.
Menko PMK menyatakan khawatir, bila Indonesia gagal memanfaatkan bonus demografi kemudian pasca bonus demografi juga tidak menyisakan penduduk produktif, maka Indonesia akan terjebak di ekonomi menengah ke bawah.
"Saya khawatir betul kalau nanti kita memasuki ageing population ekstrem, yang produktif sedikit sekali. Sementara kita belum bisa maksimal memanfaatkam bonus demografi ini maka ini bisa menjadi middle income trap, terperangkap dalam penghasilan menengah," ucapnya.
Menurut Bank Dunia, pendapatan per kapita Indonesia sejak 2015 berkisar antara USD 3.332 hingga USD 4.292 (2021). Indonesia termasuk negara berpendapatan menengah karena berada antara USD 4.046 dan USD 12.535.
Muhadjir mengingatkan bahwa persoalan perencanaan keluarga ini bukan hanya persoalan tunggal dan domain dari BKKBN saja. Melainkan juga harus melibatkan banyak pihak. Persoalan perencanaan keluarga ini juga berkaitan dengan masalah kualitas penduduk seperti masalah stunting, dan juga beririsan dengan masalah kemiskinan ekstrem.
"Family planning ini bukan persoalan tunggal, sangat melibatkan banyak pihak, holistik saling menjalin tali menali satu sama lain dan semuanya harus kita rancang sedemikian rupa dan fokus untuk membangun sumber daya manusia," tegasnya.
Hasto: Dari Penanganan Kuantitas ke Kualitas
Dalam kesempatan yang sama, Kepala BKKBN Hasto Wardoyo menerangkan bahwa saat ini BKKBN masih berupaya untuk menciptakan penduduk yang berkualitas. Dia menjelaskan, penanganan keluarga berencana telah beralih dari penanganan kuantitas menjadi penanganan kualitas. Hasto juga menerangkan, saat ini yang ingin diwujudkan adalah generasi yang berkualitas dan sehat untuk menyongsong bonus demografi.
Hasto menerangkan, visi Program Keluarga Berencana Indonesia pada akhir tahun 2030 adalah mewujudkan pelayanan Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi secara sukarela dan berkualitas, memenuhi hak dan kesehatan seksual dan reproduksi melalui pelayanan kesehatan yang merata dan berkelanjutan untuk semua tingkatan masyarakat dan didukung oleh kebijakan di tingkat nasional hingga sub-nasional.