Bantul, Gatra.com – Ketua Bidang Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas memprediksi kejahatan pidana korupsi semakin parah usai 2024, jika pemerintah tidak merevisi tiga UU.
“Sumber dan akar korupsi sebenarnya banyak sekali. Namun saya hanya akan meringkas tiga sumber saja saja, yaitu UU Parpol, UU Pemilu, dan UU Pilkada,” kata Busyro di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Jumat (29/7) siang.
Di UMY, Busyro bersama pengamat politik Rocky Gerung menjadi pembicara dalam talkshow ‘Pembukaan Sekolah Antikorupsi’ yang diselenggarakan Ikatan Muda Muhammadiyah (IMM) Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sekarang ini, menurutnya pemerintah, DPR RI, ketua umum parpol, dan sebagian kecil masyarakat memilih diam tak merevisi tiga UU tersebut. Padahal ketiga UU ini melahirkan pemimpin yang tidak jujur, tidak pro rakyat, dan tidak nasional dari daerah sampai pusat.
“Mereka yang jujur, cendekiawan, pro rakyat, nasional akan dibendung oleh ketiga UU itu untuk tampil ke tampuk kepemimpinan. Sedangkan yang lahir dari UU itu adalah pemimpin yang dibonekakan atau diwayangkan oleh oligarki. Mereka adalah pemimpin yang diskenariokan dan ditampilkan politik hitam pekat,” jelasnya.
Kondisi ini baginya melahirkan banyak keraguan dakam pemberantasan korupsi sampai ke akar-akarnya. Hal ini berkaca pada kasus korupsi bansos oleh Mensos Juliari Batubara yang berhenti pada satu orang saja. Padahal jelas-jelas pimpinan dewan dan orang penting di kabinet terlibat.
Dalam paparannya, Busyro menyampaikan data sejak 2004 sampai sekarang, yaitu dua periode kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan delapan tahun Presiden Joko Widoro, tindak pidana korupsi semakin membesar dan terjadi di semua lini.
“Ini bukti yang menggambarkan korupsi dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Fakta ini harus dilawan dengan pemberantasan korupsi yang berubah dratis, sungguh-sungguh dan berbasis motivasi kuat,” tegas mantan Ketua KPK ini.
Adapun Rocky Gerung menyebut kehadiran sekolah antikorupsi yang didirikan oleh IMM adalah upaya kecil untuk membebaskan para budak-budak politik dari praktik koruptif elit oligarki.
“Ini sebagai bentuk perlawanan terhadap sekolah-sekolah korupsi yang dibentuk di kabinet, partai, dan parlemen. Merekalah yang merusak masa depan bangsa ini. Wajar sekarang ini generasi milenial membenci politisi. Politisi adalah pencuri,” katanya.
Dirinya menyebut, selama aturan ambang batas presiden 20 persen tidak diubah, UU Pemilu akan menjadi kandang bagi elit oligarki untuk melahirkan budak-budak politik.