Jakarta, Gatra.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menetapkan dan menahan tersangka mantan Bupati Tanah Bumbu, Mardani Haji Maming. Ia duga terlibat dalam korupsi izin usaha pertambangan di Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan.
Penahanan oleh tim penyidik selama 20 hari pertama, terhitung mulai tanggal 28 Juli 2022 sampai dengan 16 Agustus 2022 di Rutan KPK pada Pomdam Jaya Guntur.
Pada 2010, pihak swasta yakni Henry Soetio selaku pengendali PT Prolindo Cipta Nusantara (PCN) ingin memperoleh persetujuan izin usaha pertambangan operasi dan produksi (IUP OP) milik PT Bangun Karya Pratama Lestari (BKPL). Lahan itu seluas 370 hektare yang berlokasi di Kecamatan Angsana, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan.
"Agar proses pengajuan peralihan IUP OP bisa segera mendapatkan persetujuan MM (Mardani Maming), Henry Soetio diduga meminta bantuan pada MM selaku Bupati agar bisa memperlancar proses peralihan IUP OP dari PT BKPL ke PT PCN dimaksud," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (28/7).
Diawal tahun 2011, Maming diduga mempertemukan Henry Soetio dengan Raden Dwidjono Putrohadi Sutopo yang saat itu menjabat Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Tanah Bumbu.
"Dalam pertemuan tersebut, MM diduga memerintahkan Raden Dwidjono Putrohadi Sutopo agar membantu dan memperlancar pengajuan IUP OP dari Henry Soetio," jelas Alex.
Pada Juni 2011, Surat Keputusan Bupati tentang IUP OP terkait peralihan dari PT BKPL ke PT PCN ditandatangani Maming. Diduga ada beberapa kelengkapan administrasi dokumen yang sengaja di backdate (dibuat tanggal mundur) dan tanpa bubuhan paraf dari beberapa pejabat yang berwenang.
Mardani Maming juga meminta Henry Soetio agar mengajukan pengurusan perizinan pelabuhan untuk menunjang aktifitas operasional pertambangan. Diduga usaha pengelolaan pelabuhan dimonopoli PT Angsana Terminal Utama (ATU) yang adalah perusahaan milik Mardani Maming.
"Diduga PT ATU dan beberapa perusahaan yang melakukan aktifitas pertambangan adalah perusahaan fiktif yang sengaja dibentuk MM untuk mengolah dan melakukan usaha pertambangan hingga membangun pelabuhan di Kabupaten Tanah Bumbu," ungkap Alex.
Adapun perusahan-perusahaan tersebut susunan direksi dan pemegang sahamnya masih berafiliasi dan dikelola pihak keluarga Maming dengan kendali perusahaan tetap dilakukan oleh politisi PDI Perjuangan itu.
Diduga terjadi beberapa kali pemberian sejumlah uang dari Henry Soetio pada Maming melalui beberapa perantaraan orang kepercayaannya maupun beberapa perusahaan yang terafiliasi dengan Maming. Kemudian dalam aktifitasnya dibungkus dalam formalisme perjanjian kerjasama underlying.
"Uang diduga diterima dalam bentuk tunai maupun transfer rekening dengan jumlah sekitar RP104,3 miliar dalam kurun waktu 2014 sampai dengan 2020," imbuh Alex.
Mardani Maming menjadi tersangka tunggal dalam perkara ini setelah Henry Soetio meninggal dunia pada 2021 lalu.
Atas perbuatannya tersebut Mardani Maming disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.