Pekanbaru, Gatra.com - Kemarin, Sumardi dan 6 orang rekannya terpaksa balik kanan, setelah Kepala Desa Sekayan, Kecamatan Kemuning, Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil), Riau, Jumadi, menolak Sumardi dan kawan-kawan memasang patok batas-batas kawasan hutan di desa itu.
"Tak bisa, Pak. Kalau desa kami ini dipatok-patok, berarti kami sudah melegalkan ini kawasan hutan," begitu jawaban Jumadi kepada Sumardi saat bercerita kepada Gatra.com jelang siang tadi. "Mereka datang ke kantor saya sekitar pukul 09 pagi," tambahnya.
Meski sudah ditolak, Sumardi yang menjadi Ketua Regu 5 dalam Surat Tugas tertanggal 11 Juli 2022 yang diteken Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah XIX, Sofyan itu, masih berusaha membujuk Jumadi.
Baca juga: SP Menteri LHK ke Riau Berpotensi Melanggar Hukum. Begini Penjelasan Pakar
"Begini begono...katanya, aturan ini kan dari atas, kami cuma bawahan yang menjalankan tugas. Terus saya bilang, mohon maaf, kegiatan ini saya tolak," Jumadi tetap dengan pendiriannya.
Entah merasa sudah tak lagi punya harapan untuk mendapat restu, Sumardi pun memutuskan meminta dibikinkan berita acara penolakan itu.
"Saya buatkan saja berita acaranya. Yang saya tolak itu ya sesuai surat tugas mereka, pemasangan tapal batas defenitif kawasan hutan," terang Jumadi.
Malamnya, Jumadi ditelepon oleh orang Tata Pemerintahan (Tapem) Setdakab Inhil. "Mungkin ini miskomunikasi saja Pak. Waktu sosiasilisasi di Kecamatan Keritang Bapak ikut?" pejabat Tapem itu bertanya.
Baca juga: Pakar: 65% Petani Menjadi Korban PP Ini
"Tak ada saya dapat informasi," Jumadi menjawab.
"Pemasangan patok itu tujuannya biar lebih jelas. Misalnya jika ada pemukiman, dikeluarkan. Tapi perkebunan tidak dikeluarkan, menunggu proses," lagi-lagi pejabat Tapem itu menjelaskan.
"Maaf Pak, Mungkin saya kurang pengalaman. Tapi menurut saya, ini runutannya sudah tidak betul. Seharusnya sebelum SK itu ada, ditatabatas dulu. Ini kan sudah tebalik-balik kerjaannya," Jumadi menjawab.
"Itulah Pak pemerintah kita ini, begini begono...Panjang lagi lah omongan orang Tapem itu," Jumadi cerita.
Pakar Hukum Kehutanan, Dr. Sadino mendukung sikap Jumadi. "Enggak bisa ujug-ujug memasang patok batas begitu. Musti dilalui dulu tahapan yang diminta oleh undang-undang. Di Pasal 15 Undang-Undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan kan sudah jelas disebut bahwa pengukuhan kawasan hutan itu melalui empat tahapan; penunjukan, pemetaan, penataan batas, penetapan," terang Direktur Eksekutif Biro Konsultasi Hukum & Kebijakan Kehutanan ini.
Baca juga: Gaya Pejabat KLHK Menanggapi Status Kawasan Hutan Riau
"Nah, tata batas, itu mencakup pendataan/inventarisasi hak pihak ketiga yang harus diselesaikan haknya. Bukan tata batas untuk mengusir, atau orang yang terkena tata batas hilang hak konstitusionalnya," lelaki 55 tahun ini memperjelas.
Guru Besar Institut Pertanian Bogor, Prof Budi Mulyanto dan Prof Sudarsono Soedomo juga mendukung langkah yang dilakukan oleh Jumadi.
"Masyarakat yang sudah punya hak atas tanah (HM, HGB, HGU,) dan alas hak atas tanah (SKT, girik, letter c, dan surat-surat terkait penguasaan dan pemilikan tanah), hak ulayat masyarakat hukum adat harus dihormati dan dikeluarkan dari kawasan hutan," kata Budi.
Baca juga: Saat Duo Pakar Menyebut Kawasan Hutan Ilegal
Saat melakukan tata batas, silahkan saja KLHK memakai teknologi citra satelit, GPS, GIS dan lainnya, "Tapi ingat, kalau tata batas itu tidak melibatkan masyarakat, tidak partisipatif, maka batas-batas itu, termasuk batas kawasan hutan, legitimasinya rendah," ujarnya.
Tapi kalau proses di atas dilakukan dengan benar, batas ditentukan bersama-sama, otomatis batas kawasan hutan akan semakin jelas dan mempunyai legitimasi tinggi. "Artinya, batas itu diakui masyarakat dan akan dijaga pula oleh masyarakat," tegasnya.
Adapun Sudarsono menyebut begini; saya melihat bahwa dari dulu, sejak KLHK bernama Kementerian Kehutanan, paradigmanya enggak berubah. Tunjuk sana tunjuk sini kawasan hutan, tapi tidak bertanggungjawab.
Tidak hanya bertanggungjawab menjaga, tapi juga tidak bertanggungjawab melakukan tata batas hingga pengukuhan seperti yang diatur oleh Undang-Undang.
Gara-gara perlakuan semacam ini, banyak hak-hak masyarakat diklaim dalam kawasan hutan. Sebab kawasan hutan itu hanya ditunjuk dari langit, tidak ditengok dulu apakah orang ada di sana atau enggak.
Kalau dari dulu proses penunjukan hingga pengukuhan kawasan hutan dilakukan dengan benar, enggak akan semrawut seperti sekarang.
Celakanya kebanyakan pakar, petinggi dan penyelenggara Negara tidak ambil pusing dengan kesalahan fatal ini.