Jakarta, Gatra.com - Research Associate CORE Dwi Andreas Santosa, menilai kondisi pangan Indonesia secara umum relatif aman untuk tahun ini. Hanya saja, Indonesia masih menggantungkan diri pada impor dalam memenuhi kebutuhan sejumlah komoditas.
Maka itu, Andreas melanjutkan, untuk tahun 2022 ini, impor pangan dan defisit neraca perdagangan Indonesia akan meningkat dibanding tahun lalu.
“Relatif aman meskipun impor pangan pastinya meningkat, karena sebagian itu harus kita beli melalui impor,” ujarnya dalam acara CORE Midyear Review 2022 bertajuk Menjaga Pemulihan Domestik di Tengah Potensi Resesi Global secara daring, Rabu (27/7).
Di sisi lain, Andreas turut menyoroti posisi Indonesia berdasarkan Indeks Ketahanan Pangan Dunia yang terus mengalami penurunan ke urutan 69 dari 113 negara pada tahun 2021.
"Data terakhir dari Food Security Index, kita terus mengalami penurunan dari 62 ke 65 dan 69 pada tahun 2021 kemarin," paparnya.
Tak hanya itu, Andreas menyebutkan, Indonesia masuk dalam peringkat terakhir jajaran negara Natural Resources and Resilience di mana Indonesia menempati posisi 113 dari 113 negara dunia.
“Produksi padi dalam dua puluh tahun terakhir stagnan,” ujarnya.
Andreas menuturkan, jika produksi padi dalam negeri kembali merosot pada tahun 2022 maka akan berdampak serius pada ketahanan pangan nasional, pasalnya beras merupakan komponen pangan utama bagi mayoritas masyarakat Indonesia.
Penurunan produksi padi di dalam negeri, Andreas mengungkapkan, salah satunya dipicu oleh harga Gabah Kering Panen (GKP) di tingkat petani yang terus menurun.
“Mungkin ini juga yang menyumbang susahnya petani meningkatkan produksi padi. Ini mungkin jadi alasan petani lebih senang menanam yang lain ketimbang padi,’ jelasnya.
Untuk lingkup global, Andreas memaparkan, Indonesia akan dihadapkan sejumlah fenomena, seperti produksi serealia dan biji-bijian kasar dunia yang diperkirakan menurun di 2022 pada kisaran 0,4 persen hingga 1 persen.
“Untuk produksi gandum turun 1 persen dari 778,3 juta ton menjadi 770,3 juta ton, hal ini dikarenakan kekeringan yang terjadi di Uni Eropa, peningkatan produksi di Kanada dan Australia karena iklim yang mendukung,” terangnya.
Kemudian, produksi minyak nabati pada 2022 hingga 2023 akan mengalami peningkatan dari 600,33 juta ton menjadi 643,07 juta ton. Produksi kedelai turut mengalami kenaikan.
Sedangkan harga minyak sawit dunia, ujar Andreas, akan mengalami penurunan yang terbilang tajam menyusul adanya kebijakan pelarang ekspor.
“Harga minyak nabati dunia diperkirakan turun terus hingga 2023. Sementara turunnya harga minyak sawit dunia yang tajam merupakan akibat kebijakan pemerintah Indonesia yang menutup ekspor dan kemudian membuka lagi yang disertai program akselerasi ekspor,” jelasnya.