Jakarta, Gatra.com – Perekonomian Indonesia diproyeksikan akan mengalami pertumbuhan yang lebih cepat tahun ini, dan Bank Indonesia (BI) diperkirakan akan mengambil pendekatan yang lebih moderat terkait penentuan besaran suku bunga BI. Kedua poin tersebut termasuk di antara sejumlah pandangan yang ada pada laporan Global Focus – Economic Outlook Q3 2022 yang disampaikan dalam acara tahunan Global Research Briefing (GRB) H2 2022 untuk Indonesia.
Acara tahunan ini dihadiri oleh para pemangku kepentingan Standard Chartered, yang meliputi perwakilan pemerintah, lembaga keuangan internasional dan nasional, serta para pelaku usaha. GRB tahun ini turut menghadirkan proyeksi ekonomi global dan domestik dari Edward Lee selaku Chief Economist, ASEAN and South Asia, Standard Chartered; Divya Devesh selaku Head of ASA FX Research, Standard Chartered, dan Aldian Taloputra selaku Senior Economist, Standard Chartered Bank Indonesia.
Turut hadir memberikan keynote speech, yakni Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan RI Luky Alfirman. Merujuk perekonomian global, Standard Chartered menurunkan proyeksi pertumbuhannya yang sebelumnya disampaikan di bulan April yakni sebesar 3,4% menjadi 3%, dikarenakan risiko resesi di AS dan Eropa serta arah gerak inflasi yang tinggi.
Tekanan biaya terus meningkat setelah adanya invasi Rusia di Ukraina, sementara gangguan pasokan juga belum mereda secara signifikan. Inflasi yang tinggi juga terus memberi tekanan pada kebutuhan rumah tangga dan bisnis, namun di banyak negara, penumpukan utang pemerintah terkait pandemi membatasi ruang lingkup dukungan fiskal untuk mengimbangi tagihan makanan dan energi yang melonjak.
Selain itu, Standard Chartered juga menurunkan perkiraan pertumbuhan ekonomi global di tahun 2023 menjadi 2,9% dari sebelumnya 3,4%. Pendapatan sektor riil yang tertekan, penghapusan kebijakan yang mengakomodir, dan lesunya potensi pertumbuhan rumah tangga dan bisnis tampaknya akan membawa pertumbuhan negatif di sejumlah area yang disebutkan di atas pada periode Q4-2022 dan Q1-2023.
Sebaliknya, Standard Chartered memperkirakan adanya percepatan pertumbuhan ekonomi di Asia pada akhir tahun ini dan tahun depan, dengan didorong oleh pemulihan kondisi di Cina dan peningkatan aktivitas jasa dan pariwisata pascapandemi di seluruh kawasan ini. Standard Chartered juga optimis tentang perekonomian Indonesia, dan meningkatkan perkiraan pertumbuhan PDB negara di tahun 2022 menjadi 5,1% dari sebelumnya 4,8%, dan mempertahankan perkiraan pertumbuhan di tahun 2023 di tingkat 5,1%.
Senior Economist, Standard Chartered BI Aldian Taloputra mengatakan, permintaan yang melambung setelah pandemi, dan terisolasinya daya beli konsumen Indonesia terhadap guncangan harga energi di tingkat global, diperkirakan akan menopang pertumbuhan pada paruh kedua tahun ini.
“Standard Chartered juga mengharapkan pemulihan yang lebih meluas di semester kedua – khususnya dalam di sektor perdagangan, transportasi, manufaktur, dan jasa – seiring dengan membaiknya mobilitas dan aktivitas ekonomi. Harga komoditas kemungkinan akan tetap tinggi di semester kedua,” kata Aldian.
Hal tersebut tidak hanya berdampak positif bagi perekonomian Indonesia (khususnya industri pertambangan dan pengolahan komoditas), tetapi juga memberikan ruang kebijakan untuk mendukung pertumbuhan melalui pendapatan fiskal yang lebih tinggi dan mengurangi dampak ketidakseimbangan eksternal, yang berujung pada rupiah yang lebih stabil.
Aldian meyakini BI akan bersifat lebih moderat dalam mengelola suku bunga bank sentral, dan memproyeksikan kenaikan suku bunga sebesar 25 basis poin baik pada periode Q3-2022 maupun Q1-2023, sebelum menaikkannya menjadi 4,0% pada akhir tahun 2023. “Pasar mengharapkan adanya kenaikan 125 basis poin pada akhir tahun 2023. Proyeksi kami yang berada di bawah konsensus mencerminkan pandangan kami bahwa inflasi akan tetap terkendali di tengah meningkatnya subsidi, momentum kenaikan Fed akan melambat di periode Q4 karena risiko pertumbuhan AS meningkat, dan Rupiah akan tetap relatif stabil, didukung oleh adanya keseimbangan eksternal,” katanya.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman menyampaikan, untuk melanjutkan pemulihan ekonomi, kebijakan fiskal di tahun 2023 akan difokuskan pada peningkatan produktivitas untuk transformasi ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. “Dalam hal ini, pemerintah akan melaksanakan reformasi fiskal yang holistik melalui mobilisasi penerimaan untuk memperluas ruang fiskal, secara konsisten memperkuat efisiensi dan efektivitas belanja, dan terus mendorong pengembangan pembiayaan yang kreatif dan inovatif,” tandas Luky.