Yogyakarta, Gatra.com - Metaverse sebagai salah satu media hasil perkembangan teknologi akan menjadi media kunci dan dapat digunakan untuk mengembangkan pembelajaran biologi di masa depan.
Hal ini disampaikan Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Budi Setiadi Daryono, Selasa (26/7), seperti dikutip dari paparannya di laman UGM.
"Dengan inovasi metaverse, pembelajaran dapat dilakukan dengan biaya yang lebih rendah dan dengan kemungkinan tak terbatas," kata Budi.
Ia memaparkan perubahan kini semakin cepat dan hampir tidak bisa diprediksi. Salah satu perubahan yang bisa kita rasakan adalah masifnya intervensi teknologi pada kehidupan post-covid.
Sejak awal 2020, Covid-19 memaksa umat manusia untuk memikirkan cara baru bekerja secara daring, mulai dari menggunakan platform audio conference seperti Zoom atau Google Meet, hingga aplikasi sistem yang lebih kompleks dengan eXtended Reality (XR). Teknologi yang juga sering disebut sebagai Virtual Reality (VR), Augmented Reality (AR), dan Mixed Reality ini dianggap menawarkan solusi yang mutakhir.
"Baru-baru ini perusahaan besar seperti Microsoft dan Meta (sebelumnya Facebook) telah mengumumkan bahwa mereka sedang mengembangkan metaverse sebagai paradigma baru untuk berinteraksi dengan dunia digital. Selain itu, pengembangan metaverse ke depannya diprediksi mampu dimanfaatkan sebagai situs jual beli yang nyata dan umum, seperti aset rumah, tanah, bangunan dan lainnya," tuturnya.
Untuk itu, menurut Budi, kita mesti mampu memanfaatkan peluang dengan kehadiran metaverse. Ia mencontohkan langkah Fakultas Biologi UGM dengan gelaran Seminar Nasional Biologi Tropika ke-6 “Masa Depan Biodiversitas Indonesia di Era Metaverse” pada 23 Juli lalu.
Dengan konsep hybrid, acara itu menghadirkan pembicara yang ahli pada bidangnya, seperti CEO Metaverse Indonesia WIR Group, Direktur MonsterAR, serta dibuka oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia.
"Kami sadar bahwa Biologi sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan dan dikelompokkan ke dalam Basic atau Fundamental Science, kini terus berkembang dan menjadi bagian dari Life Science. Sebagaimana Evolusi yang telah menjadi salah satu daya tarik orang untuk mempelajari biologi, maka biologi sebagai ilmu pengetahuan juga terus berkembang," paparnya.
Pada perkembangannya, Budi menyebut, biologi seringkali distimulasi dan diakselerasi melalui perkembangan teknologi dan mengikuti tahapan revolusi industri. Instrumen sebagai hasil dan bentukan teknologi menjadi media penting dalam mempercepat perkembangan biologi.
Budi pun yakin metaverse menjadi kunci dalam pembelajaran biologi. "Teknologi tersebut memberikan kesempatan bagi semua orang untuk mendapatkan pendidikan dan pengalaman secara holistik, serta memperkenalkan metode baru untuk kegiatan belajar mengajar," katanya.
Dengan metaverse, pembelajaran biologi akan menemukan kemungkinan tak terbatas. Misalnya, siswa yang mempelajari senyawa antikanker dapat menggunakan Metaverse untuk melihat bagaimana sel-sel sehat bekerja pada tingkat molekuler, bagaimana apoptosis terjadi selanjutnya, dan efek senyawa terhadap sel tersebut.
"Siswa juga dapat bereksperimen untuk membuat modifikasi genetik tanpa perlu khawatir dengan biaya bahan-bahan hingga biaya akses laboratorium," imbuhnya.
Dengan metaverse, Budi berharap substansi pembelajaran juga penelitian di bidang biologi akan terus berkembang dan menjadi daya tarik tersendiri, khususnya bagi generasi milenial dalam mempelajari Biologi.
"Perpaduan antara metaverse dan pembelajaran hayati akan menghantarkan biologi menjadi bidang ilmu pengetahuan yang penting serta menjadi kunci dalam kajian dan eksplorasi biologi masa depan yaitu Deep Sea dan Exobiology yang didahului dengan pesatnya perkembangan big data dan bioinformatika saat ini," kata dia.
Menurutnya, pemanfaatan metaverse dalam bidang biologi juga dapat membantu siswa memahami suatu gambaran yang sangat nyata dalam proses pembelajarannya di masa depan.
"Siswa akan mampu mengalami, merasakan, mengetahui, dan memahami kehidupan flora fauna yang telah punah dengan lebih nyata dengan ruang virtual bernama metaverse," katanya.
Namun, Budi mengingatkan, konsep metaverse juga dapat menjadi ancaman bagi kehidupan manusia karena dunia virtual yang berkembang sekarang ini dibantu alat VR atau virtual reality dan pengalaman virtual yang diperoleh belum begitu nyata.
Menurutnya, konsep metaverse hampir sama dengan suatu subaliran di novel ringan, manga, anime, dan permainan video Jepang yang dikenal dengan istilah Isekai: "dunia berbeda" atau "dunia lain". Beberapa masyarakat punya anggapan salah bahwa isekai adalah dunia yang sebenarnya.
"Akibatnya, dapat muncul suatu pemikiran negatif baru di masyarakat bahwa kehidupan nyata bukanlah suatu hal yang penting karena masih ada kehidupan lain di netaverse yang dianggap lebih bermakna. Selain itu, dalam masa pengembangan, metaverse masih belum berupa dunia yang aman untuk beraktivitas. Rentannya pencurian identitas, penipuan, serta pengambilalihan akun masih menghantui pengguna metaverse," tuturnya.
Ia menambahkan, semakin besarnya aplikasi dan intervensi metaverse pada pengguna, semakin banyak pula akses data pribadi, informasi kredensial, hingga aset digital, mengingat maraknya pengguna blockchain, seperti Ethereum yang tidak memiliki otoritas pusat.
Artinya, jika properti kita dicuri, platform Metaverse, misalnya OpenSea atau Sandbox, tidak memiliki tanggung jawab terhadap kasus pencurian tersebut.
"Apabila ke depan metaverse benar-benar menjadi paradigma baru, pengguna sebagai pihak paling rentan di Metaverse harus berhati-hati betul dan tidak gegabah dalam mengelola akun dan informasi pribadi yang ada di dalamnya," papar Budi.
Di sisi lain, metaverse dalam skala yang lebih sempit, seperti penggunaan eXtended Reality (XR) yang tidak melibatkan penggunaan aset digital, dapat memberikan efek besar untuk kemajuan biologi dan biodiversitas dalam bentuk ruang pembelajaran dan ruang pariwisata.
"Flora dan fauna terancam punah seperti badak bercula satu, komodo, elang jawa, bunga raflessia dan lainnya dapat digunakan sebagai objek dan tempat rekreasi yang nantinya dapat bergeser secara virtual," katanya.
Pembuatan objek wisata virtual pun dapat mencegah kerusakan ekosistem yang disebabkan oleh masuknya wisatawan ke dalam ekosistem alaminya. Selain itu, kesehatan flora dan fauna lebih terjaga, sehingga kemampuan reproduksi mampu berkembang secara optimal sehingga kepunahannya dapat dicegah.
Pada akhirnya, Budi yakin metaverse akan membawa paradigma baru dalam dunia pembelajaran dan penelitian biologi maupun ilmu lainnya karena menyediakan platform yang mudah dijangkau, interaktif, kritis, dan tidak adanya limitasi dalam penggunaan.
"Walaupun begitu, sebagai pengguna yang bijak, ada baiknya tetap memahami bahwasannya metaverse bukanlah kehidupan sebenarnya. Metaverse hanyalah suatu alat saja dan tidak bisa menggantikan realita serta membatasi rasionalitas dan intelektualitas manusia," pungkasnya.